Jumat 05 Feb 2016 15:00 WIB

Anomali Harga

Red:

Sejumlah bahan kebutuhan pokok masih di harga yang tinggi alias belum turun sejak awal tahun ini. Kalaupun harganya turun, besarannya tidak signifikan. Lihat saja harga sejumlah bahan pokok, seperti daging sapi, daging ayam, dan beras.

Dalam hukum ekonomi, kebutuhan dan pasokan ibarat bejana berhubungan dalam hukum fisika. Satu bak akan saling mengisi bila ada ketakseimbangan. Secara hukum ekonomi, harga suatu barang akan tinggi bilamana pasokannya berkurang. Hal sebaliknya terjadi, harga akan jatuh jika pasokan suatu barang membanjiri pasar.

Namun, hukum pasar ini tidak sepenuhnya berlaku dalam sistem perdagangan sejumlah bahan pokok di Indonesia. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian Suwandi menyatakan, pasokan bahan pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, ketercukupan itu bukan hanya aspek pasokan kebutuhan, melainkan juga dengan memasukkan faktor karakteristik wilayah, perilaku pasar, teknologi, sosial-budaya, dan politik.

Semestinya, dengan kondisi demikian, harga stabil lantaran pasokan tercukupi. Akan tetapi, fakta di lapangan tak memperlihatkan korelasi tersebut. Terdapat anomali harga beras di tingkat konsumen, juga disparitas harga yang tinggi antara produsen dan konsumen.

Lima bulan terakhir, data pasokan beras dan harga di tingkat konsumen tak berbanding lurus. Sesuai musim produksi, pasokan beras berfluktuasi, tapi harga beras di konsumen terus naik. Artinya, pasokan tak berbanding lurus dengan harga beras.

Konsumen mengalami keterputusan rantai pasokan. Produksi beras yang tinggi ternyata tak lancar mengalir ke konsumen. Akibatnya, pasokan seolah tersendat, sehingga harga di tingkat konsumen tetap tinggi.

Simak saja data Badan Pusat Statistik (BPS) berikut. Produksi padi 2015 sebesar 74,9 juta ton atau naik 5,85 persen, jagung naik 4,34 persen, kedelai 2,93 persen dibandingkan 2014.

Adapun harga gabah di petani Rp 3.700 per kg gabah kering panen (GKP) dengan menggunakan instrumen HPP. Bila dikonversi dan ditambah biaya olah menjadi beras setara Rp 6.359 per kg. Tapi, ternyata harga beras di konsumen berkisar Rp 10.172 per kilogram.

Data ini memperlihatkan ada yang tak beres dalam rantai distribusi. Ada banyak faktor di sini. Di antaranya, bisa saja data tersebut salah, tapi faktor ini kecil sekali kemungkinannya. Berikutnya, ada mafia pangan yang memainkan harga dengan menimbun pasokan, tidak menyalurkan ke konsumen, sehingga berakibat pasokan berkurang, harga di level konsumen pun tinggi.

Bisa pula keterputusan rantai distribusi itu lantaran terhambat oleh bencana alam. Namun, faktor ini bisa ditepis karena tak ada bencana alam yang luar biasa terjadi di sejumlah daerah produksi pangan. Dari sekian analisis ini, yang terkuat adalah adanya permainan harga oleh mafia pangan.

Menghadapi mafia pangan ini memang tidak mudah. Mereka sudah berurat berakar dalam sistem jalur distribusi pangan nasional. Tentu, menghadapi mereka membutuhkan ketegasan, keberanian, dan sinergi dengan para pihak terkait.

Koordinasi antarkementerian mesti diperkuat. Hilangkan ego sektoral yang selama ini mengemuka; masing-masing kementerian berusaha mengegolkan stakeholder-nya. Kemendag selalu mengedepankan impor dalam mengatasi kekurangan pasokan pangan. Di sisi lain, Kementan merasa pasokannya tak diserap pasar.

Jika ini yang terjadi, yang untung adalah para mafia pangan. Mereka akan memanfaatkan kondisi ini untuk mempermainkan harga. Lalu, siapa yang peduli atas terus melambungnya harga pangan? Apakah rakyat diminta terus bersabar dalam kondisi perekonomian yang kini tak lagi mudah? Apakah rakyat mesti terus mengalah menghadapi tingginya harga pangan? Semoga, pemerintah lebih peduli.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement