Rabu 17 Feb 2016 15:00 WIB

Penertiban Kalijodo

Red:

Dalam sepekan terakhir ini, rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, mencuri perhatian. Tidak hanya karena masalah puluhan rumah yang akan diratakan dengan tanah yang dipersoalkan banyak pihak. Tapi, kawasan yang ditengarai sebagai lokasi perjudian dan prostitusi ini yang justru menyita perhatian karena selama ini seperti tak pernah bisa disentuh aparat.

Apalagi, penolakan terhadap rencana pemprov tersebut pun dilakukan oleh warga setempat. Termasuk, oleh-oleh orang yang mengaku tokoh Kalijodo. Pengacara pun mereka sewa untuk menentang langkah Pemerintah Ibu Kota Jakarta yang menargetkan pada 2017 di kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan hijau dan tidak ada lagi bangunan berdiri.

Kita menyadari, merupakan hak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menata kawasannya. Apalagi, jika lokasi tersebut sebagai kawasan hijau sebagaimana yang diklaim oleh Pemprov DKI Jakarta selama ini. Pemerintah daerah di mana pun, sah-sah saja bila ingin menata kawasan sesuai dengan peruntukan.

Masalahnya, klaim Pemprov DKI Jakarta itu ditentang oleh warga. Mereka merasa memiliki hak untuk menempati tanah itu. Di antaranya, karena mereka memiliki kartu tanda penduduk dan klaim warga lainnya yang mementahkan penegasan Pemrov DKI Jakarta. Tentu saja, untuk membuktikan siapa yang benar antara pemerintah dan warga tingga di pengadilan. Itu bisa dilakukan jika warga memiliki surat-surat tanah yang lengkap sebagai pemilik kawasan tersebut. Tapi, bila warga tidak mempunyai surat-surat yang sah, hal ini membuat keinginan warga mempertahankan Kalijodo sebagai miliknya menjadi sangat lemah.

Dalam kondisi seperti itu keinginan Pemprov DKI untuk menertibkan dan menghapus prostitusi di Kalijodo menjadi langkah yang sulit dihindari. Apalagi, sebelum ini beberapa preman melakukan perlawanan terhadap rencana pemprov. Perlawanan preman itulah yang membuat banyak kalangan mendukung langkah pemprov. Ketua MPR sampai ketua DPRD DKI Jakarta pun mendukung pemprov untuk tak mundur melawan para preman yang berusaha mempertahankan kawasan Kalijodo yang bukan menjadi haknya.

Walaupun demikian, bukan berarti Pemprov DKI bisa semena-mena untuk menata kawasan Kalijodo dan mengabaikan hak-hak warga. Ratusan warga di Kalijodo yang memiliki kartu tanda penduduk, meski tinggal di kawasan hijau akibat ada peran oknum pemerintah. Para oknum itu ikut mendapat kecipratan dana dari kegiatan bisnis haram di Kalijodo. Andil dari oknum pemerintah daerah inilah yang membuat puluhan tahun mereka bisa tinggal di situ dan karenanya kesalahan tidak semata-mata bisa seluruhnya dibebankan kepada warga.

Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan langkah hati-hati dalam melakukan penertiban. Tidak boleh gegabah, sehingga menimbulkan korban jiwa. DKI harusnya belajar dengan daerah lain, seperti yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya saat menertibkan kawasan prostitusi Doli, beberapa tahun lalu. Langkah yang dilakukan oleh wali kota Surabaya cukup berhasil melenyapkan prostitusi di wilayah yang sudah turun-temurun itu tanpa gejolak yang berarti.

Pemprov DKI saat ini juga harus belajar dari gubernur sebelumnya saat menertibkan kawasan Keramat Tunggak yang bertahun-tahun dikenal sebagai wilayah prostitusi. Gubernur Sutiyoso saat itu mampu menyulap kawasan itu menjadi Islamic Center.

Dialog dan sosilisasi menjadi langkah kunci yang harus dilakukan oleh Pemprov DKI sebelum melakukan penggusuran. Pemprov juga harus melakukan kerja sama dengan instansi lain, seperti kepolisian untuk melakukan penertiban dan Kementerian Sosial untuk melakukan pembinaan mantan pekerja seks komersial (PSK). Dan, tentu saja yang paling penting tanggung jawab pemprov memberikan tempat tinggal yang layak untuk mereka yang telah dipindahkan dari Kalijodo. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement