UUD 1945 Pasal 28 H mengamanatkan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan." UU No 1 Tahun 2011 menyatakan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjadi diri, mandiri, dan produktif." Dengan demikian, rumah merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting dan strategis bagi setiap orang dan keluarga.
Harus diakui, pembangunan perumahan belum mencapai kondisi ideal. Masih banyak rumah tangga menempati rumah tak layak huni dengan prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang serbaterbatas, kekurangan rumah (backlog) terus meningkat akibat daya dukung penyediaan rumah baru tak sebanding dengan pertambahan jumlah rumah tangga baru. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK mencanangkan program "Pembangunan Sejuta Rumah" guna meningkatkan ketersediaan rumah dan mengurangi angka backlog.
Untuk menyukseskan program pembangunan sejuta rumah dibutuhkan biaya sangat besar. Sementara, kondisi keuangan negara belum mampu sepenuhnya membiayai, sehingga diperlukan peran serta masyarakat dan dunia usaha.
Daya beli sebagian masyarakat masih rendah dan belum mampu menyesuaikan dengan harga pasar perumahan, sehingga banyak masyarakat yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar akan rumah layak huni. Demikian pula, perkembangan tingkat suku bunga dan inflasi yang cendrung fluktuatif berpengaruh pada sistem pembiayaan perumahan, sehingga memberatkan masyarakat sebagai end-user.
Permasalahan lain, belum terintegrasinya sistem pembiayaan perumahan menyebabkan ketidaksesuaian pembiayaan di mana sumber pembiayaan jangka pendek digunakan untuk membiayai kredit perumahan jangka panjang. Karena itu, perlu digali sumber pembiayaan alternatif, antara lain, melalui penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, meliputi lembaga pembiayaan; pengerahan dan pemupukan dana; pemanfaatan sumber biaya; dan kemudahan atau bantuan pembiayaan (pasal 121).
Pengerahan dan pemupukan dana, meliputi dana masyarakat; dana tabungan perumahan, termasuk hasil investasi atas kelebihan likuiditas; dan/atau dana lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 123). Berbagai ketentuan di atas mengamanatkan pemerintah membentuk semacam Tapera.
Sudah banyak negara yang membentuk semacam Tapera, antara lain, Prancis dengan Compte D'epargne Logement (CEL) dan disempurnakan menjadi Plan D'epargne Logement (PEL); Jerman dengan "Bauspar"; Singapura dengan Central Provident Fund (CPF); Malaysia dengan Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) atau Employees Provident Fund (EPF); Cina dan India dengan Housing Provident Fund (HPF); dan Amerika Serikat dengan Settlement Housing Fund (SHF).
Indonesia dengan jumlah penduduk dan pekerja yang besar memiliki potensi Tapera sangat besar. Sebagai gambaran, jumlah pekerja di Indonesia 118,2 juta, sebanyak 47,5 juta (40,19 persen) di antaranya bekerja di sektor formal dan 70,7 juta (59,81 persen) di sektor informal (BPS, Februari 2014).
Pekerja di sektor formal terdiri atas PNS, anggota TNI Polri, dan peserta BPJS Ketenagakerjaan (17,2 juta orang). Sedangkan, pekerja di sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian, dan pekerja keluarga.
Kalau diasumsikan, gaji pekerja di sektor formal rata-rata Rp 3 juta per bulan dan tiap pekerja menabung 2,5 persen per bulan dari gaji mereka akan terkumpul Tapera Rp 3,56 triliun per bulan dan Rp 42,75 triliun per tahun. Jika tiga persen per bulan akan terkumpul Rp 4,27 triliun per bulan dan Rp 51,3 triliun per tahun. Jumlah ini akan semakin besar jika ditambah pekerja mandiri (di luar PNS, anggota TNI Polri, dan anggota BPJS Ketenagakerjaan).
Melalui Tapera, masyarakat akan dibiasakan menabung dan menyiapkan pemenuhan kebutuhan rumah secara lebih terencana dengan mendapatkan fasilitas KPR berbunga/margin murah. Bagi peserta yang sudah memiliki rumah dan tidak memanfaatkan fasilitas ini akan mendapatkan nilai tunai tabungan mereka plus hasil optimalisasi pengelolaan Tapera, sehingga seluruh peserta sama-sama merasakan manfaat Tapera.
Semoga, ke depan akan tersedia dana yang besar dan berjangka panjang bagi pembangunan perumahan di Indonesia terutama bagi masyarakat berpengasilan rendah dan tak mampu, sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya akan rumah tinggal yang layak.
Rahmat Hidayat
Bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat