Jumat 04 Mar 2016 14:00 WIB

Edukasi Kebencanaan

Red:

Gempa berkekuatan 7,8 skala Richter mengguncang Samudra Hindia yang terasa kuat di wilayah Sumatra Barat, Rabu (3/3) malam. Padahal, jarak pusat gempa dengan wilayah Sumatra Barat mencapai sekitar 800 kilometer.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat mengeluarkan peringatan tsunami meski satu jam kemudian, peringatan tersebut dicabut. Gempa berkategori kuat ini sempat menimbulkan kepanikan bagi warga yang berada di pesisir Sumatra.

Sejumlah pakar geologi menyatakan, gempa Mentawai ini lebih tepat disebut gempa Samudra Hindia. Alasannya, gempa tersebut bukan dipicu oleh tumbukan lempeng di zona megathrust. Zona megathrust merupakan daerah bertemunya lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia atau lebih dikenal dengan lempeng Sunda.

Gempa ini dipicu oleh sesar (patahan) geser di kerak Samudra Hindia. Karena, yang terjadi sesar geser atau horizontal, dampak pada gelombang laut juga minimal. Hal inilah yang membuat gelombang tsunami saat gempa 7,8 SR pada Rabu malam tak terjadi.

Tidak bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bilamana gempa berkekuatan 7,8 SR kemarin dipicu oleh tumbukan lempeng di zona megathrust. Tentu daya rusaknya tak jauh berbeda dengan gempa pada 2004. Alhamdulillah.

Namun, ancaman gempa belum bisa dikatakan berakhir. Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, masih ada potensi gempa di zona megathrust dengan kekuatan maksimum di atas 8 SR. Gempa ini terjadi di zona subduksi sehingga berpotensi membangkitkan tsunami. "Berdasarkan banyak penelitian, masih tersandera energi gempa yang besar di Mentawai," kata Sutopo.

Kendati Mentawai memberikan ancaman, sejatinya kerentanan tinggi bahaya gempa tersebar di 386 kota/kabupaten di Indonesia. Artinya, menurut Sutopo, ada 157 juta jiwa terancam potensi bahayanya. Masalahnya, apakah 157 juta warga itu sudah menyiapkan dini penyelamatan jika bahaya itu datang?

Diakui, sosialisasi dan antisipasi bahaya gempa sudah dilakukan pemerintah pusat maupun daerah. Namun, Sutopo mengingatkan akan ingatan sebagian masyarakat Indonesia yang pendek sekali. "Kita mudah lupa untuk hal-hal seperti ini."

Di sinilah pentingnya edukasi kebencanaan dilakukan berkelanjutan. Berkaca dari Jepang, edukasi tentang kebencanaan sudah diajarkan para pendidik sejak masa pendidikan dasar. Mereka diajarkan bagaimana menyelamatkan diri ketika terjadi gempa atau tsunami.

Wapres Jusuf Kalla sejauh ini menilai, budaya masyarakat kita tentang kebencanaan sudah mulai tertanam dengan baik. Salah satu bukti, sebut JK, adalah langkah penyelamatan diri warga ke dataran lebih tinggi saat ada bahaya gempa dan tsunami.

Namun, Wapres mengakui, budaya yang sudah baik ini saja tak cukup. Diperlukan kesiapsiagaan lainnya dari sisi teknologi pendeteksi gempa dan tsunami. Untuk hal yang ini, masih banyak yang perlu dibenahi.

Simak saja survei Unsyiah dan Jepang terkait gempa pada 11 April 2012. Dari 813 responden, 54 persen di antaranya masih berada di rumah saat gempa terjadi. Sebanyak 63 persen tak mendengar sirene peringatan tsunami. Penyebabnya, petugas ikut kabur dan alat pendeteksi tsunami yang rusak karena sudah lama tak diuji coba.

Padahal, mencontoh Jepang, latihan kedaruratan gempa dilakukan setahun sekali. Dari survei tersebut, 71 persen responden mengaku belum pernah ikut latihan tanggap bencana.

Di sinilah peran pemerintah daerah dan pusat untuk menggencarkan edukasi kebencanaan, termasuk menyediakan alat pendeteksi gempa dan tsunami yang memadai. Jangan sampai berhemat-hemat anggaran untuk pengadaan alat-alat tersebut, tapi berdampak pada hilangnya ratusan, bahkan ribuan nyawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement