Perkembangan Laut Cina Selatan (LCS) akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Selain akibat tumpang tindih klaim kedaulatan yang berlarut-larut antara enam pihak di kawasan, juga kontes kekuatan antara Amerika Serikat dan Cina yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka.
Meskipun Presiden Cina Hu Jin Tao berulang kali mengatakan kebangkitan Cina tidak mengancam negara manapun, pembangunan kekuatan militernya dan munculnya konsep Nine Dashed Lines yang mengakui sepihak sebagian besar LCS sebagai teritori Cina menjadi kekhawatiran utama meletusnya konflik terbuka di LCS. Terlebih, dengan kehadiran AS yang menginginkan kebebasan terbang dan berlayar bagi kekuatan militernya sampai masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Cina.
Dalam teori perang klasik, ada tiga faktor utama pendorong sebuah negara melakukan invasi, yaitu kemampuan ekonomi, kemampuan militer, dan motif. Sejauh ini, Cina sudah memiliki kemampuan ekonomi mumpuni dan kemampuan militer yang tak dapat dipandang remeh. Cina tumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kedua di dunia dengan kekuatan militernya terbesar di Asia. Belanja pertahanan Cina terus meningkat menjadi 261 miliar dolar AS pada 2015 (SIPRI), nomor dua setelah AS.
Cina telah mempersiapkan titik-titik kuat di LCS dengan membangun pangkalan di beberapa atol yang mereka duduki. Mereka juga membangun kekuatan yang memungkinkan untuk memproyeksikan kekuatan militer ke luar dengan beroperasinya kapal induk Liaoning. Alutsista udara strategis juga diperkuat. Cina juga memiliki arsenal menakutkan, senjata nuklir.
Penguasaan Cina terhadap LCS akan memperkuat posisi strategis pertahanan halaman depan Cina. Penguasaan wilayah LCS juga memungkinkan Cina mengeksploitasi kekayaan LCS, baik perikanan, sumber daya laut, maupun mineral dan energi. Kontestasi yang terus memuncak di LCS bila tidak dikelola, bisa meletus menjadi perang terbuka. Apalagi, sejarah LCS tidak bebas dari konflik bersenjata.
Indonesia tidak memiliki klaim di LCS, tapi punya kepentingan meredakan eskalasi ketegangan serta penyelesaian sengketa di sana karena Indonesia selalu berpegang pada pentingnya stabilitas regional. Indonesia juga perlu khawatir bahwa konsep Nine Dashed Lines Cina melanggar atau bersinggungan dengan ZEE Indonesia.
Kekhawatiran itu sangat beralasan karena postur militer Cina sangat bersifat outward looking. Bahkan, Cina pernah memasukkan peta Natuna dalam gambar sampul paspor mereka.
Cina juga pernah menolak permintaan Indonesia untuk menggelar latihan SAR multinasional di Laut Natuna dengan alasan masih ada masalah yang harus diselesaikan antara Cina dan Indonesia di sana. Alasan itu mengada-ada karena konsep Nine Dashed Lines tidak memiliki dasar hukum serta tidak jelas batas koordinatnya.
Konflik bersenjata di LCS sedapat mungkin akan dihindari oleh pihak bersengketa untuk kepentingan perdagangan dan ekonomi masing-masing. Namun, bila pertikaian tak terselesaikan, bisa saja terjadi perang yang pasti bakal mengganggu perekonomian Indonesia.
Sebab, Asia Timur, terutama Cina, merupakan tujuan ekspor penting Indonesia dan negara kawasan lainnya, terutama ASEAN, dengan telah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. AS juga menginginkan stabilitas di kawasan, mengingat besarnya volume dan nilai barang AS sebesar tiga triliun dolar melalui LCS.
Bagi Cina, Asia merupakan pasar besar. Belum lagi, sebagian besar ekspor dan impor Cina, terutama energi, melalui LCS. Rasanya sulit dimengerti bila Cina dan negara kawasan serta luar kawasan tidak turut memelihara keselamatan dan keamanan berlayar di LCS.
Bagi Indonesia, keamanan dan keselamatan pelayaran, termasuk kebebasan navigasi di LCS, merupakan prioritas karena terkait keselamatan ekspor-impor Indonesia. Walaupun sengketa di LCS bukan ancaman langsung, Indonesia memiliki kepentingan sangat besar. Indonesia harus mewaspadai adanya kontingensi yang bisa memaksa Indonesia melakukan proyeksi kekuatan untuk menjamin keutuhan wilayah kedaulatannya.
Kedaulatan Indonesia terhadap pulau terdepan, termasuk Pulau Natuna serta perairannya, di mana Indonesia memiliki kedaulatan, yurisdiksi, maupun hak berdaulat adalah final dan sah. Dari 193 titik pangkal yang didepositkan di PBB sebagai batas wilayah darat dan dasar penghitungan wilayah Indonesia di laut, tidak satu pun yang disengketakan negara tetangga.
Karena itu, bila ada yang mengklaim Pulau Natuna, berarti keutuhan negara terusik dan bangsa Indonesia tidak boleh berdiam diri. Perang adalah jalan terakhir, tetapi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI adalah harga mati.
Indonesia harus meningkatkan diplomasi dengan Cina dalam bentuk people to people melalui perdagangan, pertukaran mahasiswa, maupun duta budaya, tapi juga perlu menunjukkan keteguhan dalam mempertahankan NKRI melalui tindakan operasional nyata (naval diplomacy).
Dengan demikian, Indonesia perlu meningkatkan deterrence effect dengan merombak strategi pembangunan dan penggunaan kekuatan TNI agar lebih outward looking dan menerapkan forward defence system yang antisipatif terhadap ancaman militer dan peperangan konvensional model baru. Gelar kekuatan tempur TNI harus berubah dari model gelar terpusat dan kewilayahan, menjadi gelar sesuai axis datangnya ancaman, dan dapat sewaktu-waktu diproyeksikan ke luar untuk melindungi kepentingan Indonesia.
Perubahan terhadap doktrin, strategi, dan taktik operasi militer untuk perang TNI harus dilakukan, khususnya peperangan laut dan antiudara. Indonesia harus mempercepat pembangunan postur pertahanan yang memadai berintikan kekuatan TNI AL dan TNI AU untuk dapat mengendalikan Laut Natuna/Laut Cina Selatan sampai batas ZEE serta memperkuat kehadiran di wilayah tersebut, termasuk memperkuat pangkalan dan pemangkalan di Natuna.
Postur pertahanan yang kuat adalah sekaligus mendukung konsep Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi dengan prioritas membangun kekuatan matra laut didukung matra udara dan matra darat sebagai penyangga. Postur pertahanan ini perlu disebarluaskan melalui publikasi Indonesian Defence White Paper sehingga tak menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia menyiapkan kekuatan yang ekspansionis, tapi semata-mata membela kepentingan nasional.
Pada sisi lain, Pemerintah Indonesia harus berupaya mewujudkan keamanan dan stabilitas LCS. Indonesia perlu menyerukan agar semua pihak menahan diri tak melakukan kegiatan di LCS yang bisa meningkatkan ketegangan. Indonesia harus menggalang ASEAN agar kembali menjadi kesatuan yang solid sehingga mampu secara operasional militer maupun diplomasi lebih menegaskan peran dan posisinya sebagai kekuatan penyeimbang dan pemelihara stabilitas dan kedamaian di kawasan.
Perlu perubahan paradigma untuk meningkatkan kerja sama ASEAN yang selama ini lebih bersifat cair ke arah komunitas yang memadukan kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan keamanan sehingga ASEAN Security Community perlu dikembangkan menjadi pertahanan bersama ASEAN agar kekuatan militer ASEAN bisa saling bersinergi.
Indonesia juga perlu mengimbau negara bersengketa untuk menaati Declaration of Conduct serta mendorong kesepakatan Code of Conduct di LCS yang lebih mengikat. Sekaligus, meyakinkan pihak berkepentingan di LCS bahwa ASEAN adalah lembaga kompeten untuk memelihara keamanan regional. Indonesia perlu mengajak negara pantai dan pengguna, terutama AS, untuk menjadikan LCS sebagai wilayah damai, kerja sama, dan netral berdasarkan konsep ZOPFAN.
Indonesia juga perlu mendorong Cina sebagai peneken UNCLOS 82 untuk mematuhi ketentuan dalam konvensi itu dan tak ada dasar hukum internasional yang kuat sebagai dasar Cina mengklaim kepemilikan LCS dalam konsep Nine Dashed Lines, apalagi terhadap Pulau Natuna.
Indonesia perlu mengajak enam pihak bersengketa untuk mempertimbangkan pembagian sumber daya di LCS, baik perikanan maupun energi dan mineral, serta membentuk badan otoritas bersama yang berwenang untuk memelihara keselamatan pelayaran, keselamatan dan keamanan maritim di LCS, sambil menunggu penyelesaian COC dan sengketa secara paripurna.
Rosihan Arsyad
Laksamana Muda TNI (Purn), Pembina Indonesia Institute for Maritime Studies