Jumat 20 May 2016 14:00 WIB

Kebangkitan Zakat

Red:

Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2016 adalah momentum yang tepat bagi umat Islam di Indonesia untuk menjadikannya sebagai momentum mengisi kemerdekaan dengan kebangkitan zakat sebagai salah satu bentuk jihad ekonomi umat yang ramah. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan.

Pertama, potensi zakat di Indonesia ternyata besar sekali. Sebuah penelitian tentang potensi zakat di Indonesia yang dilakukan oleh Baznas bekerja sama dengan IPB atas dasar PDB 2010 menunjukkan bahwa potensi zakat tersebut pada 2010 adalah Rp 217 triliun. Jika diekstrapolasikan dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun-tahun sesudahnya, potensi tersebut pada 2015 mencapai Rp 286 triliun. Sementara, penghimpunan zakat nasional pada 2015 diperkirakan hanya sekitar Rp 4 triliun atau 1,4 persen dari potensinya. Betapa besar manfaat zakat bagi umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang hilang karena masih amat rendahnya total penghimpunan zakat.

Oleh karena itu, berbagai macam cara dan upaya harus dilakukan untuk menghimpun zakat dengan sebaik-baiknya dan kemudian mendistribusikan dan mendayagunakannya dengan baik sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan. Alhamdulillah, kita sudah memiliki UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Implementasi Pengelolaan Zakat. Dengan UU ini, zakat menjadi urusan negara dengan sanksi pidana dan/atau administratif bagi pelanggarnya.

Kedua, zakat adalah rukun Islam yang paling banyak diabaikan meskipun perintah mendirikan shalat dalam Alquran hampir selalu diikuti dengan perintah menunaikan zakat, diulang dalam 32 ayat, dan surah al-Maún mengecam keras orang-orang yang shalatnya tidak berbuah kesalehan sosial. Tampaknya, masih banyak umat Islam yang sudah melaksanakan shalat lima waktu, menjalankan puasa Ramadhan, sudah berhaji, bahkan sudah berumrah berkali-kali, tetapi belum berdisiplin dalam menunaikan zakat, kecuali zakat fitrah, barangkali. Padahal, zakat berdampak membersihkan dan menyucikan pembayarnya sebagaimana dijanjikan surah at-Taubah ayat 103. Menurut ayat ini, harta dan rezeki yang halal belum bersih dan suci bagi Muslim pemiliknya sebelum zakatnya ditunaikan.

Ketiga, kesenjangan sosial di Indonesia sudah amat tinggi akhir-akhir ini sebagaimana terindikasi dari perkembangan rasio gini. Selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang dikenal otoritarian dan dekat dengan para kroni konglomeratnya, rasio gini tidak pernah melampaui angka 0,35. Selama era Reformasi, rasio ini tumbuh cepat dan pada 2010 tembus angka 0,40, suatu batas ambang yang menurut konsensus para ekonom pada tingkat itu kesenjangan sosial sudah terlalu tinggi dan tidak lagi wajar serta berbahaya. Rasio gini 0,40 bisa diartikan sebagai kondisi ketika satu persen  WNI terkaya menguasai 40 persen aset nasional. Pada tahun-tahun selanjutnya, rasio ini terus naik hingga pada 2014 mencapai 0,42 meskipun pada 2015 turun kembali menjadi 0,40.

Sebetulnya, kesenjangan sosial, bila terkendali, adalah suatu hal yang wajar dan alami, bahkan merupakan sunatullah. Tanpa adanya kesenjangan sosial, proses ekonomi dan sosial akan menjadi sulit terjadi. Jika semua orang kaya dengan  kekayaan dan status soial yang sama rata, siapakah yang bersedia bekerja menjadi bawahan? Tentu saja tidak ada. Yang penting, kesenjangan sosial itu terkendali dan masih dalam batas wajar. Jika terlalu ekstrem, yang berarti rasio gininya 0,40 atau lebih, akan muncul kecemburuan sosial yang berbahaya.

Untuk Indonesia, kecemburuan sosial itu amat sensitif dan berbahaya karena garis kesenjangan sosial yang memisahkan yang miskin dan yang kaya berimpit hampir sempurna dengan garis etnis yang memisahkan etnis pribumi mayoritas dan nonpribumi minoritas, serta dengan garis agama yang memisahkan Muslim mayoritas dan non-Muslim minoritas. Garis kesenjangan itu menjadi sangat sensitif dan bertensi tinggi karena kelompok mayoritas yang beretnis pribumi dan beragama Islam itu justru yang termarginalkan. Oleh karena itu, untuk Indonesia, mengendalikan agar kesenjangan sosial tidak ekstrem menjadi sangat penting dan menjadi tantangan eknonomi, sosial, dan politik yang berat bagi siapa pun yang memerintah.

Jika dikelola dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan dan syariah zakat, bisa secara signifikan memoderasikan kesenjangan sosial. Oleh karena itu, Baznas periode kepengurusan 2015-2020 yang diketuai oleh penulis, menjadikan era kepengurusan itu sebagai era kebangkitan zakat yang melibatkan semua Baznas provinsi, semua Baznas kabupaten/kota, dan semua LAZ. Insya Allah, untuk pertama kalinya dalam sejarah perzakatan nasional, key performance indicators dari semua lembaga amil zakat tersebut pada tahun ini bisa disepakati dan menjadi komitmen kinerja yang terukur.

Bambang Sudibyo

Ketua Baznas

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement