Miris. Kata itu sepertinya yang paling tepat untuk melukiskan peristiwa ditangkapnya dua hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (23/5). Pencidukan Kepala PN Kepahiang Bengkulu Janner Purba dan hakim ad hoc Toton dalam operasi tangkap tangan (OTT) karena diduga menerima suap Rp 650 juta terkait putusan perkara kasus dugaan korupsi RSUD M Yunus jelas membuat kecewa berat masyarakat.
Bagaimana tidak, hakim yang sering disebut sebagai wakil Tuhan untuk memutus suatu perkara di persidangan justru berbuat tidak terpuji. Menerima sogokan untuk memenangkan sesuatu pihak yang berperkara sangat mencederai nilai-nilai keadilan. Padahal, nilai keadilan itulah yang dijunjung hakim sebelum mengambil keputusan. Hakim yang tidak jujur dan tidak memiliki integritas sudah pasti tidak akan menghasilkan keputusan yang mendekati kebenaraan, kalau kita mau bersepakat kebenaran sejati hanya milik Allah yang Maha Kuasa.
Kegeraman dan kekecewaan masyarakat atas peristiwa penangkapan hakim bisa dimaklumi. Hal itu karena desas-desus selama ini soal adanya jual beli perkara dan hakim yang bisa disogok bukan isapan jempol belaka. Faktanya, dugaan soal itu benar-benar terjadi. Ini membuat setiap keputusan hakim yang agak 'aneh' disimpulkan oleh masyarakat karena para pelaku peradilan memang bisa dipengaruhi dengan uang sebelum memutuskan suatu perkara.
Penangkapan hakim ini juga menambah daftar panjang hakim yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam OTT. Yang memperihatinkan, hakim yang terjerat dalam OTT sebelum ini kasusnya belum selesai di pengadilan. Dalam catatan Komisi Yudisial (KY), sejak Januari 2016 sampai dengan Selasa (24/5), sekitar 11 aparat pengadilan terseret kasus korupsi. Terdiri atas tiga pejabat pengadilan dan delapan hakim yang kasusnya muncul ke publik atau media. Belum lagi, yang tidak terjangkau publikasi.
KPK juga menyayangkan perilaku hakim yang masih bersekongkol dengan pihak yang berperkara untuk mendapatkan imbalan. Lembaga antikorupsi ini menyayangkan pola berulang karena hakim kembali terjerat OTT. Bahkan, kali ini ada hakim tindak pidana korupsi (tipikor) yang terjerat. Dalam pandangan KPK, ini merupakan sinyal bahwa di tingkat pengadilan harus ada perbaikan. Tanpa adanya perbaikan, sulit mengharapkan lembaga peradilan memberikan keputusan yang adil untuk semua rakyat.
Kita menyadari, Mahkamah Agung (MA) memiliki peran yang cukup sentral untuk menyelamatkan peradilan dari oknum-oknum aparat yang penuh ambius dan mengabaikan nilai-nilai kejujuran. Pengawasan internal menjadi kunci agar kasus ini tidak terulang.
Kita bukan hanya menginginkan tidak adanya lagi kejadian hakim yang terjerat OTT KPK di kemudian hari. Karena, kalau sekedar itu yang diinginkan maka ketika hakim semakin canggih dalam melakukan korupsi, bukan tidak mungkin KPK kesulitan untuk menjeratnya. Tapi, yang kita inginkan adalah perilaku aparat peradilan sudah tidak lagi korup, baik saat diawasi ataupun tidak diawasi oleh KPK.
Untuk itu, MA harus melakukan langkah progresif guna melakukan evaluasi dalam menjaga kehormatan dan martabat peradilan. Tanpa langkah itu, bukan suatu yang mustahil kita akan kembali menemukan adanya Janner Purba-Janner Purba lain yang terjerat OTT KPK.