Indonesia sebagai negara agraris seharusnya bisa meraih predikat mandiri pangan karena lahan yang subur, iklim yang mendukung, dan sumber daya petani yang jumlahnya puluhan juta orang. Namun, kenyataannya, Indonesia masih harus bergelut dengan impor pangan yang menunjukkan beratnya beban menuju negara mandiri pangan.
Contoh nyata, saat ini pemerintah sedang bergumul dengan kebijakan impor bawang merah. Alasannya, tak lain karena harga bawang merah melonjak tajam di luar harga normal. Momentum menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri selalu dijadikan alasan di balik ketidakstabilan harga bawang merah. Padahal, pemerintah sudah memberikan garansi soal tidak adanya masalah pasokan bawang, bahkan surplus. Sebab, kini memang saatnya musim panen bawang merah di sentra-sentra produksi bawang. Hal ini dibuktikan juga dengan pasokan bawang merah yang masuk Jakarta sebanyak 280 ton hingga 300 ton per hari, sedangkan kebutuhannya hanya 240 ton hingga 280 ton per hari.
Sayangnya, saat masa panen terjadi, harga bawang merah di pasar justru melonjak. Pemerintah melalui Kementerian Koordinasi Perekonomian pun langsung memberi sinyal perlunya impor guna mengatasi gejolak harga bawang merah ini. Perang wacana antarlembaga pemerintah pun kembali terjadi. Di satu pihak, Kementerian Pertanian bersikukuh tidak perlu impor lantaran produksi melimpah. Di pihak lain, adanya gejolak harga di pasar disimpulkan sebagai ketidakcukupan pasokan untuk memenuhi permintaan. Impor pun harus dilakukan demi menjamin ketersediaan barang.
Perang wacana antardua lembaga negara ini memang patut disayangkan. Apalagi, sejak dulu kebijakan impor pangan selalu muncul manakala terjadi gejolak harga. Padahal, para pakar ekonomi sepakat, apabila setiap kali terjadi gejolak pangan hanya dipecahkan dengan kebijakan impor, sumber daya lokal sejatinya tidak pernah diberdayakan secara serius.
Adanya masalah pangan di tingkat masyarakat harus menjadi cambuk bagi pemberdayaan petani, sehingga bisa lebih optimal dalam berproduksi yang pada akhirnya berarti memanfaatkan sumber daya lokal secara baik. Di sisi lain, masyarakat harus diimbau agar mempunyai kemampuan menyediakan pangan dari sumber daya lingkungan di sekitar rumah. Dengan demikian, beban penyediaan pangan bukan hanya bergantung pada petani atau ketersediaan pangan di pasar, melainkan juga dari lingkungan sendiri. Salah satu caranya adalah melalui pemanfaatan pekarangan.
Di Indonesia, potensi luas lahan pekarangan seluruh Indonesia lebih dari 10 juta hektare. Karena itu, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pangan keluarga sangat penting artinya bagi ketahanan pangan nasional. Dengan selalu berulangnya fenomena instabilitas harga pangan lantaran alasan momentum puasa-Lebaran dan Natal-Tahun Baru, mestinya bisa dijalankan program terobosan guna mendorong masyarakat memanfaatkan pekaranga. Bagi warga perkotaan, pemerintah juga harus memiliki program pertanian urban yang bisa memotivasi masyarakat menanam tanaman pangan di rumahnya, semisal cabai, bawang, sayur-mayur, dan buah-buahan.
Di saat bersamaan, pemerintah juga perlu koordinasi yang mantap dalam urusan pengelolaan rantai pasok, mulai dari produksi, panen, dan distribusi. Sehingga, ke depan tidak perlu muncul lagi anomali kenaikan harga. Jangan sampai lagi setiap tahun pemerintah selalu kalah dengan tangan-tangan tak terlihat yang secara nyata mampu membuat gejolak harga semaunya.