Senin 13 Jun 2016 13:00 WIB

Ulah Geng Motor

Red:

Ulah geng motor belakangan ini kembali menyita perhatian masyarakat. Meski tidak sedramatis ulah geng motor di Pekanbaru pimpinan Klewang, apa yang dilakukan geng motor di Bandung belum lama ini bisa jadi merupakan indikasi meningkatnya kembali ulah brutal geng motor yang meresahkan masyarakat.

Prajurit TNI Angkatan Darat Komando Daerah Militer III Siliwangi, Prajurit Satu Galang Suryawan, pada 5 Juni lalu dilaporkan tewas setelah diduga dianiaya dan ditusuk geng motor di Jalan Rajawali, Kota Bandung. Korban dikeroyok kurang lebih 20 anggota geng motor sekitar pukul 01.00 dini hari (Republika, 8 Juni 2016). Lebih dari sekadar ulah nakal anak muda, tindakan geng motor yang menusuk prajurit TNI ini sudah masuk ke wilayah kriminal. Sudah sepantasnya jika pelaku sesegera mungkin ditangkap dan diproses secara hukum.

Bagi masyarakat, ulah geng motor yang sering kali melakukan balapan liar, berkelahi atau tawuran dan acap kali pula melakukan tindak kriminal tentu meresahkan. Secara garis besar, paling tidak ada dua ulah geng motor yang menurut masyarakat perlu segera ditangani aparat penegak hukum.

Pertama, yakni berbagai tindakan antisosial atau asosial yang dilakukan anggota geng motor. Yang dimaksud tindakan asosial di sini adalah tindakan geng motor yang melawan kebiasaan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Bentuk tindakan asosial yang dilakukan geng motor, antara lain, mengembangkan subkultur geng yang eksklusif, menarik diri dari pergaulan umum, suka berkelahi, minum minuman keras, menggunakan narkotik atau obat-obat berbahaya, dan terlibat di dunia prostitusi atau pelacuran. 

Kedua, tindakan geng motor yang sudah masuk wilayah kriminal, yaitu tindakan yang secara nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Tindakan kriminal yang selama ini sering dilakukan geng motor adalah terlibat aksi pemalakan, perampasan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan berbagai bentuk tindak kejahatan lainnya, baik yang tercatat di kepolisian maupun yang tidak karena tidak dilaporkan oleh masyarakat, tetapi nyata-nyata mengancam ketenteraman masyarakat.

Berbeda dengan perilaku kerumunan yang sifatnya sementara, ulah geng motor yang meresahkan masyarakat umumnya telah berkembang menjadi subkultur yang relatif solid. Seperti dikatakan Frederic Thrasher (2011), seorang teoretikus dari Mazhab Chicago, kemunculan dan terbentuknya geng di masyarakat sesungguhnya bukan disebabkan oleh kelainan psikologis anggotanya, melainkan muncul dari keakraban, rasa berbagi petualangan dan kegembiraan yang terjalin di antara sesama anggota geng itu sendiri.

Di kalangan anak-anak marginal, kemunculan geng motor menurut Mazhab Chicago merupakan respons kelompok the others (liyan) terhadap kondisi status quo, kemapanan, kesenjangan sosial, dan berkembangnya ideologi dominan di masyarakat. Kehadiran geng motor di berbagai daerah sering membuat ulah yang meresahkan masyarakat. Dengan cara itu mereka justru ingin memperlihatkan identitas dan keberadaannya.

Howard Becker (1966), misalnya, menyatakan bahwa munculnya ulah geng (motor) dengan berbagai kebiasaan menyimpangnya secara kolektif adalah representasi dari subkultur geng, yaitu ketika di antara anggota geng mulai sadar untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri secara berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya. Biasanya semakin masyarakat bereaksi mengucilkan dan mengecam ulah geng motor, justru di saat yang sama anggota geng motor itu akan semakin kompak, semakin menarik diri, dan bahkan kemudian tak jarang mengembangkan perilaku yang menyimpang untuk memperlihatkan keberadaan mereka.

Kesulitan yang dihadapi aparat dalam memberantas geng motor, bukan karena berhadapan dengan militansi anggota geng itu, tetapi sering kali juga karena adanya labeling atau stigma yang dikembangkan masyarakat terhadap anggota geng motor. Ulah geng motor yang mencemaskan, lalu berkali-kali diberitakan di media tentang bagaimana masyarakat dan aparat penegak hukum mengecam mereka, maka dampaknya kemudian adalah munculnya tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance).

Geng motor yang di awal kehadiran mereka unjuk gigi dengan cara melakukan aksi menyimpang ringan, seperti minum minuman keras, balapan liar, atau memalak orang lain, bukan tidak mungkin memicu munculnya tindakan penyimpangan yang lebih lanjut karena menggenapkan stigma masyarakat. Inilah yang membedakan bentuk penyimpangan primer (primary deviance) dengan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Cap menyimpang menghasilkan suatu tindakan sosial yang makin menyimpang, karena menggenapkan apa yang dituduhkan masyarakat.

Artinya, dengan adanya berbagai stigma negatif yang dilekatkan pada anggota geng motor, para anggota geng motor yang telah diberi cap negatif masyarakat itu, niscaya akan cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang (disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan berakibat pada tumbuhnya karier menyimpang yang berkepanjangan. Anggota geng motor yang distigma pemabuk oleh masyarakat maka dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan cenderung mengembangkan perilaku yang menyimpang sebagaimana cap masyarakat.

Untuk mengantisipasi dan mengeliminasi agar ulah geng motor tidak berkembang makin mencemaskan, untuk jangka pendek memang membutuhkan tindakan hukum yang tegas. Yakni, menangkap dan memproses anggota geng motor yang memang terbukti terlibat dalam tindak kriminal, seperti merampok atau membunuh orang lain, seperti kasus pembunuhan salah satu anggota TNI di Bandung.

Sementara itu, untuk jangka panjang, agar upaya mengeliminasi ulah geng motor dapat benar-benar efektif, selain pendekatan yang sifatnya legal-punitif, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah pendekatan yang sifatnya persuasif dan transformatif --dengan bertumpu pada identitas dan subkultur yang melatarbelakangi dan menjadi way of life anggota geng motor.

Sebagai kelompok yang merasa dirinya didiskriminasi dan distigma sebagai the others, anggota geng motor biasanya memang akan menarik diri, tidak percaya pada lembaga formal, dan resisten kepada aparat penegak hukum. Mengubah cara pandang dan melakukan counter culture agar geng motor tidak terus menarik diri dari masyarakat umum, yang dibutuhkan selain pendekatan yang lebih arif, dan tak kalah penting adalah dukungan dari lembaga-lembaga sosial kemasyaratan untuk mengembangkan pendekatan kepada anggota geng motor yang berbasis keluarga, komunitas, dan dukungan aktif CBO (community based organization).

Bagong Suyanto

Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement