Selasa 14 Jun 2016 13:00 WIB

Stabilisasi Harga

Red:

Presiden Jokowi menegaskan, harga daging sapi harus di bawah Rp 80 ribu per kg. Hal ini adalah penegasan agar harga daging sapi dapat terkontrol, terutama terjangkau oleh daya beli. Yang justru menjadi pertanyaan adalah mengapa harus daging sapi dan mengapa harus di bawah Rp 80 ribu per kg? Bagaimana sebenarnya kalkulasi dari harga tersebut? Bagaimana pengaruh penetapan harga tersebut terhadap peternak dan pedagang sapi? Implikasi apa yang terjadi terhadap mekanisme pasar, terutama jika penetapan harga cenderung lebih mengarah kepada kebijakan sesaat-populis?

Tidak bisa dimungkiri bahwa sejumlah harga kebutuhan pokok cenderung meroket pada Ramadhan, termasuk juga daging sapi. Adapun yang menarik, meski pemerintah menegaskan pasokan sejumlah komoditas pangan tersedia, harga cenderung tidak bisa terkontrol dan dipastikan inflasi musiman selama Ramadhan-Idul Fitri cenderung terus tinggi. Hal ini mengindikasikan ketidakseimbangan pasar telah terjadi dan fakta ini secara tidak langsung menunjukkan konsumen tidak berkutik terhadap harga pasar. Ironisme fenomena ini cenderung terus berulang dan campur tangan pemerintah minim.

Fakta membuktikan, pernyataan pemerintah tentang jaminan pasokan dan operasi pasar yang selama ini dilakukan tidak mampu meredam gejolak harga pangan selama Ramadhan-Idul Fitri. Lalu di mana kesalahan mekanisme pasarnya? Bagaimana hal ini bisa dijelaskan dengan teori permintaan? Selain itu, mengapa Presiden Jokowi lebih menekankan pentingnya menurunkan harga daging sapi pada kisaran Rp 80 ribu per kg? Jika dibandingkan dengan harga komoditas lain, misalnya, beras, gula, dan telur, tentu daging sapi termasuk kebutuhan lauk yang bersifat sekuder. Artinya, urgensi untuk mereduksi harganya cenderung lebih penting bagi komoditas beras, gula, dan telur sebab ini meliputi semua kelompok masyarakat.

Harga daging sapi juga cenderung kurang strategis jika mengacu kepentingan publik di bulan Ramadhan. Karena itu, penetapan harganya harus di bawah Rp 80 ribu per kg justru memicu pertanyaan baru, ada apa di balik kebijakan tersebut? Hal yang juga perlu untuk dicermati bahwa selama ini Indonesia belum pernah swasembada sapi. Artinya, pasokan itu lebih banyak ditutup dengan impor. Bahkan, sempat mencuat kasus impor daging sapi beberapa waktu lalu yang melibatkan politikus. Kalkulasi ini secara tidak langsung memicu perdebatan tentang urgensi di balik niat untuk mereduksi harga daging sapi pada kisaran Rp 80 ribu per kg.

Konsekuensi dari penetapan harga di bawah Rp 80 ribu per kg untuk daging sapi pada Ramadhan kali ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap industri peternakan. Betapa tidak, industri peternakan selama ini berusaha untuk bangkit mengacu potensi pasar konsumsi daging sapi yang cenderung meningkat. Di satu sisi, ketidakseimbangan pasar cenderung ditutup dengan impor daging sapi, terutama dari Australia. Sementara, di sisi lain, fluktuasi harga sapi pada beberapa saat juga meresahkan konsumen, terutama jika harga pasar mencapai lebih dari Rp 100 ribu per kg.

Asumsi yang mendasari dari fluktuasi harga daging sapi adalah industri makanan yang berbahan dasar daging sapi, termasuk juga kuliner bakso yang kini tersebar di berbagai daerah. Terkait hal ini, maka sebenarnya harga daging sapi menjadi komoditas yang juga strategis, meski di sisi lain bisa disebut tidak terlalu penting bagi hajat hidup publik. Karena itu, dengan penegasan Presiden Jokowi bahwa harga daging sapi harus di kisaran Rp 80 ribu per kg, secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh terhadap mekanisme pasar. Sebab, pasokan impor daging sapi akan lebih terbuka dan akhirnya ini akan memicu sentimen terhadap anggaran negara.

Tentu dilematis jika melihat ancaman defisit anggaran, sementara di sisi lain pemerintah juga cenderung lebay jika melihat lonjakan harga. Sehingga, tekanan terhadap pedagang sering terlontar sebagai spekulan di balik tingginya sejumlah harga komoditas. Tentunya ini tidak fair jika pemerintah harus turut campur tangan terlalu dalam terhadap produk publik, termasuk juga dalam kasus daging sapi. Artinya, mekanisme pasar haruslah bisa menjadi acuan terhadap harga normal, bukan dengan tekanan yang bersifat psikologis dan politis, termasuk juga dalam momen keagamaan seperti Ramadhan-Idul Fitri. Jika memang diperlukan, pemerintah bisa melibatkan Bulog sebagai otoritas yang lebih berkompeten dengan stabilisasi harga, dibanding dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat "menekan" harga dengan pernyataan harus di bawah Rp 80 ribu per kg untuk kasus daging sapi pada Ramadhan kali ini.

Selain itu, penegasan harga tersebut juga berpengaruh terhadap industri peternakan. Tidak bisa dimungkiri, industri peternakan kini masih berkutat dengan kebutuhan pangan yang juga berfluktuasi, meski di sisi lain juga terancam dengan pasokan daging impor. Oleh karena itu, penegasan harga daging sapi di bawah Rp 80 ribu per kg secara tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan industri peternakan. Padahal, setiap kebijakan politis yang dilakukan pemerintah juga sangat rentan memicu sentimen bagi sektor industri. Bahkan, pasar cenderung semakin menjadi keruh ketika campur tangan pemerintah turut andil.

Jika sudah demikian, bagaimana sebenarnya peran dari pemerintah terhadap stabilisasi harga? Mengapa operasi pasar selama Ramadhan-Idul Fitri tidak efektif meredam gejolak harga sejumlah komoditas strategis? Selain itu, mengapa inflasi selama Ramadhan-Idul Fitri cenderung tinggi? Fakta itu semua menjadi suatu tantangan, apakah penegasan harga daging sapi di bawah Rp 80 ribu per kg bisa meredam gejolak harga secara keseluruhan, terutama selama Ramadhan-Idul Fitri?

Edy Purwo Saputro

Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

(QS. At-Tahrim ayat 8)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement