Ritual mudik kembali hadir. Masyarakat berbondong menuju desa untuk melepas kangen. Setelah sekian lama di rantau, masyarakat ingin kembali ke rumah asal, yaitu desa. Namun, perayaan kembali ke rumah asal ini sering kali bermasalah. Salah satunya adalah timbulnya kemacetan di hampir seluruh jalur mudik, mahalnya harga tiket, hingga masalah anak yang juga turut serta dalam ritual ini.
Anak memang selalu ikut ke manapun orang tua pergi. Mereka selalu ada dalam gendongan atau dekapan kasih orang tua. Namun, dalam ritual mudik, mereka sering kali tidak mendapatkan rasa nyaman. Anak sering kali harus ikut berdesakan antre mendapatkan tiket. Mereka pun juga harus menahan rasa panas saat berada di terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, dan bandara.
Korban
Anak sering kali belum mendapatkan haknya sebagai manusia. Artinya, mereka masih menjadi "korban" dalam ritual mudik. Hal ini terbukti dengan belum banyaknya armada mudik yang ramah anak. Armada mudik sering kali masih jauh dari menjangkau kenyamanan anak. Bahkan, sering kali armada mudik malah tak memedulikan anak.
Bus misalnya, banyak yang tak laik jalan. Kondisi interior bus pun jauh dari memadai. Penggunanya pun sering merokok di dalam bus. Rokok pun sering mengepul dari ruang kemudi. Padahal, di dalam bus ada penumpang anak dan perempuan.
Ironisnya, terminal sebagai ruang pertemuan penumpang dan armada bus jauh dari ramah anak. Jarang kita lihat di terminal ada ruang bermain untuk anak. Ruang menyusui pun jarang ada. Hanya terminal-terminal skala besar yang menyediakan ruang laktasi. Maka, tidak aneh jika kita sering kali melihat ibu-ibu menyusui putra dan putrinya di pinggir jalan atau ruang tunggu terminal. Sebuah pemandangan yang menyesakkan bagi seorang perempuan.
Pengelola terminal tampaknya perlu belajar dari bandara. Di bandara kini sudah banyak kita temui ruang bermain untuk anak. Selayaknya, sebagai tempat yang paling banyak dipakai oleh masyarakat, terminal menyediakan ruang serupa. Ruang terbuka yang nyaman untuk anak ini akan dapat mengurangi stres. Anak akan merasa nyaman saat mudik. Mereka pun akan mendapatkan pengalaman berharga yang selalu diingat hingga dewasa. Mereka akan dapat menceritakan pengalaman luar biasa ini kepada teman saat masuk sekolah dan teman-teman yang lain.
Mudik ramah anak pun perlu digagas sebagai usaha sadar dan terencana semua pihak. Pemerintah perlu memastikan bahwa mudik bukanlah ritual yang baru saja terjadi di Indonesia. Persiapan mudik selayaknya telah dipikirkan dan dikerjakan sejak jauh hari. Tambal sulam pengerjaan jalan yang selalu saja dikerjakan saat jelang Lebaran sudah saatnya diakhiri. Jalan selayaknya telah rampung sebulan jelang mudik. Saat jalan sudah siap, maka kemacetan tak akan menjadi masalah tahunan. Mudik pun menjadi lancar dan aman.
Rencana pemerintah dalam program zero accident patut diapresiasi. Kematian di jalan raya yang masih tinggi, bahkan anak menjadi korban, bukan masalah sederhana. Musibah—untuk tidak menyebut petaka mudik—ini selayaknya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjamin keselamatan warganya.
Zero accident pun perlu dimulai dengan menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dan bijak. Saat anak telah mendapatkan haknya (baca: nyaman), maka orang tua pun nyaman. Kenyamanan anak dengan demikian menjadi modal utama dalam mewujudkan zero accident.
Sensor
Lebih lanjut, mudik ramah anak pun perlu memperhatikan hiburan yang ada di dalam armada. Beberapa laporan tentang hiburan di sarana transportasi umum, seperti kapal dan pesawat terbang masih ditemukan film yang tidak layak ditonton anak. Misalnya, masih terdapat film yang membenarkan LGBT (lesbi, gay, biseks, and transeksual). Padahal, layar ini dapat diakses semua penumpang kapal. Begitu juga tayangan film di pesawat, ada yang tak layak dikonsumsi anak-anak. Tentu ini menjadi indikator betapa armada mudik belum ramah anak. Bagaimana mungkin seorang anak mendapatkan "hiburan" yang membenarkan perilaku LGBT dan tayangan yang berbau pornografi?
Video bus antarkota antarprovinsi pun sering kali menayangkan musik dangdut dengan goyangan yang seronok. Tayangan yang biasanya diambil dari konsep sebuah grup musik itu jauh dari kata ramah anak. Tayangan itu hanya akan menjadikan anak dewasa sebelum waktunya.
Pendek kata, tayangan sebagai hiburan dalam armada, baik bus, kapal, maupun pesawat selayaknya mendapat sensor dari pemerintah. Hal ini untuk menjamin kenyamanan pemudik. Tidak hanya pemudik dewasa, tetapi juga anak-anak.
Orang tua pun penting untuk menyadari bahwa mudik harus menjadi proses pembelajaran yang menyenangkan untuk anak. Selama di perjalanan, hendaknya orang tua memperhatikan kondisi anak secara fisik dan psikologis. Jangan sampai kelelahan orang tua dilampiaskan kepada anak dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis. Makna pulang kampung menjadi hilang.
Mudik merupakan ritual tahunan yang sarat makna. Oleh karenanya, perlu kerja ekstra untuk menyiapkan dan menjadikan mudik sebagai wajah humanis bangsa. Mudik menjadi pertaruhan kinerja pemerintah dan bangsa. Saat mudik belum mampu ramah anak dan nyaman bagi semua, maka mudik hanya akan menjadi cerita sedih bagi para perantau. Mereka tidak akan mampu menyebarkan spirit kerinduan untuk bekerja keras kepada sanak saudara di kampung.
Pada akhirnya, mudik ramah anak merupakan wujud kebangsaan yang mulia. Saat semua telah menjadikan anak sebagai subjek pembangunan (baca: pelayanan), maka masa depan akan cerah. Semoga.
Rita Pranawati
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah