Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sudah 64 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Data tersebut diperbarui terakhir pada 30 September 2015, sebagaimana diungkap oleh anggota Direktorat Gratifikasi KPK Andi Purwana. Tentunya, data ini terus bertambah hingga 10 bulan kemudian.
Kebanyakan dari kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK ini penyebabnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk pilkada. Biaya yang tinggi menyebabkan mereka melakukan apa pun untuk menang. Politik uang menjadi salah satu cara dari permainan kotor mereka. Membeli suara dengan uang.
Masalahnya, dana yang dikeluarkan untuk pilkada kemudian dikompensasikan dengan merampok anggaran daerah setelah mereka terpilih. Wujud perampokan anggaran daerah ini pun dengan bermacam modus haram: menggelembungkan nilai proyek, menguntit dana bansos, menyuap wakil rakyat, memeras pengusaha, dan lain sebagainya.
Data Kementerian Dalam Negeri hingga 2010 juga memperlihatkan, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Namun, jumlah ini tak membuat jera kepala daerah lainnya. Kepala daerah yang beperkara dengan hukum tetap terjadi pada tahun-tahun selanjutnya.
Pada 2014 saja, sebanyak 56 kepala daerah atau wakil kepala daerah tersangkut kasus di KPK. Seolah, operasi tangkap tangan KPK atau penegakan hukum oleh aparat tetap tak membuat efek jera. Ironinya, yang terjerat kasus hukum tersebut justru sebagian di antaranya adalah aparat yang semestinya menjadi penjaga gawang penegakan hukum.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang salah? Padahal, jika melihat latar belakang pendidikan para terdakwa, tidak dalam jumlah kecil yang berpendidikan sarjana. Pertanyaan selanjutnya, apakah berarti mereka yang berpendidikan tinggi tak bisa tersangkut kasus hukum? Memang, tidak mudah menemukan jawaban yang akurat.
Tak bisa telunjuk kita arahkan hanya pada lingkungan pergaulan, faktor keluarga, latar belakang pendidikan, dan lainnya. Bahwa seseorang yang menyandang gelar ulama atau rohaniwan, bergelar doktor atau profesor, lantas mustahil berbuat kejahatan? Ada banyak faktor yang melingkupinya.
Bisa saja kita berbeda pendapat pada sejumlah faktor tersebut, tapi setidaknya kita bisa bersepakat pada ketidakkonsistenan mereka memegang nilai-nilai moral dan etika atau akhlakul karimah sebagai faktor utama penyebab pelaggaran hukum. Ada pelanggaran terhadap karakter kebaikan yang tidak mereka patuhi.
Seseorang yang memegang teguh pada nilai-nilai moral dan etika, tak mungkin menyalahinya meski ditawari godaan apa pun. Karakter berpegang teguh pada nilai-nilai ini tentunya membutuhkan proses yang tidak sebentar. Pembentukan karakter ini dilakuan sepanjang kehidupannya.
Dari mana mulai menanamkan pendidikan berkarakter ini? Tentunya, berawal dari yang terdekat, yakni pihak keluarga. Namun, menyerahkan semua tanggung jawab tersebut pada kedua orang tuanya adalah tidak adil. Sekolah tempat mereka menimba ilmu—baik itu sekolah formal maupun informal—juga memegang tanggung jawab pembentukan karakter tersebut.
Di sinilah gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menemukan kontekstualitasnya. Di luar pro-kontra yang berkembang, penekanan Mendikbud pada penguatan pendidikan karakter di sekolah sehari harus didukung. Bahwa pendidikan karakter merupakan kemestian untuk menjadikan anak bangsa ini unggul, kompetitif dengan bangsa-bangsa lain.
Mengenai kekhawatiran dari para orang tua waktu interaksi dengan anaknya menjadi berkurang lantaran penerapan full day school, perlu ada penjelasan dan sosialiasi yang komprehensif. Sistem sehari penuh tak berarti materi pelajarannya mesti ditambah, hanya waktu berada di sekolah yang memang makin panjang.
Bagi anak-anak yang utamanya masih di kelas dasar, mereka tetap membutuhkan waktu berinteraksi dengan sesama, mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih produktif. Kemandirian juga mesti diajarkan sedari dini. Adapun kendala dalam sarana dan prasarana sekolah jika diterapkan sekolah sehari penuh, harus dipecahkan bersama solusinya.
Penekanan kita adalah pada terbangunnya pendidikan karakter sejak dini dan menerapkannya secara konsisten dalam sistem pendidikan sepanjang hidup. Membangun karakter memang tidak bisa dalam sekejap, juga tidak bisa dilakukan seorang diri. Butuh kepedulian dan sinergi dengan semua pihak.