Tibalah saatnya Fatin meninggalkan keluarganya di desa Bojongsoang.
Pagi itu ia berpamitan kepada Abah, Emak dan adik-adiknya. "Hati-hati jauh dari orang tua, Anakku. Harus menjaga kehormatan dirimu, ya Neng," ujar Abah mengelus kepala putri sulungnya yang dibalut jilbab putih.
"Mohon restumu, Abah," kata Fatin, mencium tangan ayahnya dengan takzim.
Emak pun membekali wejangan yang dibisikkannya ke ku-ping putrinya.
"Jangan melupakan sholat lima waktu, ya Neng. Tidak bergaul dengan orang yang tak dikenal."
"Insya Allah Mak, Abah, doakan anakmu selalu, ya," pinta Fatin menahan perasaannya yang mengharu biru.
Inilah pertama kalinya ia akan meninggalkan keluarganya ke tempat yang jauh pula. Jakarta, kota metropolitan, entah apa yang akan menanti dirinya dan teman-temannya di sana.
Beberapa kali Fatin menoleh ke arah rumah panggung itu. Kedua orang tua dan adik-adik masih mengawasinya dari kejauhan. Entah mengapa, seketika ada sesuatu yang merembes jauh di lubuk hatinya yang terdalam.
"Ah, tidak! Aku pasti akan kembali ke sini!" gumamnya menepis perasaan tak nyaman dan kesedihan yang meruyak di dalam hatinya.
Ia mempercepat langkahnya, diperbaikinya tas gendong yang ngedaplok di punggungnya. Jilbab putihnya berkibar tertiup angin pagi itu.
Di ujung jalan setapak tampaklah tiga orang temannya. Dijah, Nurul dan Hendar, merekalah teman seperjuangan dari kampungnya.
"Fatiiiiiiin! Cepaaaat!" teriak mereka bersahutan, menyemangatinya. "Iya, iya, tungguuuu!" sahut Fatin sambil berlari cepat menghampiri mereka.
Sebuah mobil sewaan sudah menunggu. Tampak Heri, penyalur tenaga kerja itu duduk di samping sopir. Dialah yang akan mengurus segala sesuatunya untuk mereka.
"Mari kita berangkat, anakanak," ajak Heri yang segera diiyakan oleh Fatin, Dijah, Nurul dan Hendar. @@@
(Bersambung ke BAB II)