Perkembangan sektor keuangan global dalam beberapa dekade terakhir ini turut meninggalkan beberapa rekam jejak suram, berupa krisis multidimensi yang patut menjadi pembelajaran. Hantaman krisis global pada 1998, 2008, dan 2012 menyadarkan banyak negara bahwa betapa terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan negara lainnya. Para pengambil kebijakan semakin sadar, dengan semakin terbukanya ekonomi, arus informasi serta aliran barang dan jasa lintas negara, kebijakan moneter dan fiskal di satu negara akan berdampak ke negara lain. Untuk mengelola risiko sebagai reaksi kebijakan negara lain diperlukan "kesamaan cara pandang", khususnya dari sisi moneter dan fiskal, dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan, yang dikenal sebagai kebijakan makroprudensial.
Kita membutuhkan satu atau lebih institusi yang berwenang mengawasi setiap pergerakan pasar keuangan, sektor riil, dan dinamika sektor moneter, sebagai variabel penting untuk mendeteksi potensi datangnya krisis sistemis. Makroprudensial pada masa kini dipahami sebagai kebijakan yang bertujuan membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemis. Dalam Undang-Undang No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) mencantumkan pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan.
Dalam Pasal 3 UU PPKSK juga dijelaskan kegiatan pencegahan dan penanganan krisis, akan dilalui dengan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas serta penanganan krisis. Satu hal menarik dari pasal tersebut ialah kata "koordinasi", yang berarti mewajibkan beberapa instansi yang terkait dengan sistem keuangan untuk berkolaborasi penuh dalam kegiatan makroprudensial. Pihak-pihak ini tergabung dalam Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan menteri Keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan Komisioner OJK, serta ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Harmonisasi kebijakan keempat instansi itu menjadi sebuah tantangan dalam menyusun kebijakan makroprudensial. Ini mengingat adanya perbedaan informasi yang dikelola pada masing–masing lembaga, yang mengarah pada tumpang tindih kebijakan ataupun pemikiran yang bisa saling berlawanan. Untuk itu, perlu ada mekanisme yang mengatur proses penyusunan kebijakan yang dihasilkan bisa saling melengkapi.
Sebagai gambaran, pemerintah baru saja merilis Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII, yang berisi deregulasi perizinan demi mewujudkan investasi sejuta rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Paket ini bisa menjadi salah satu contoh konkret, bagaimana otoritas kebijakan fiskal mampu berkoordinasi dengan kebijakan lain dalam kerangka menjaga makroprudensial. Ini menjadi contra cyclical policy, yang merupakan bagian dari kebijakan makroprudensial.
Dalam menjalankan kebijakan makroprudensial, kita perlu memahami amanat Pasal 12 UU PPKSK mengenai pertukaran data dan informasi, sebagai bagian dari koordinasi kelembagaan untuk melahirkan regulasi yang satu visi. Pertanyaan yang perlu dipertegas adalah jenis data dan informasi apa, yang perlu dibagi untuk menunjang harmonisasi kebijakan makroprudensial?
Pertama, pemerintah melalui menko Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Bappenas akan mengoordinasikan kinerja otoritas fiskal dan sektor riil. Dalam urusan Paket Kebijakan Ekonomi XIII, sudah tercantum secara jelas pemerintah akan memfasilitasi beberapa jenis deregulasi, yang fungsinya menurunkan biaya transaksi investasi. Selain itu, pemerintah akan melengkapi tugasnya dengan beberapa kebijakan pendukung, seperti pengendalian inflasi dan pemberian subsidi yang outcome-nya bisa berpengaruh terhadap daya tawar dan daya beli masyarakat. Katakanlah, dalam tahapan ini, pemerintah sukses menjalankan perannya maka pemerintah tinggal berkoordinasi dengan otoritas moneter, untuk mempersiapkan akses kredit pemilikan rumah yang terjangkau bagi MBR.
Kedua, performa otoritas moneter (khususnya antara BI dan OJK) dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIII diramalkan akan menjadi titik episentrum keberhasilan/kegagalan program yang ada. Harapan menggeliatnya investasi di sektor perumahan memang sangat logis berdampak positif terhadap kinerja makroekonomi. Namun, kita jangan mudah lupa dengan fenomena subprime mortgage di Amerika, yang hampir menyeret seluruh dunia di ambang krisis.
Kisah kelam di Amerika ini kita harapkan tidak terjadi di Indonesia. BI selaku pihak berwenang di sisi makroprudensial sudah menerapkan kebijakan loan to value (LTV) dan financing to value (FTV), untuk mengendalikan risiko sistemis dari kebijakan kredit. Namun, BI tidak bisa serta-merta menentukan seberapa besar angka LTV dan FTV tanpa informasi yang komprehensif dari OJK, selaku pemegang kendali mikroprudensial. OJK sendiri juga menginginkan sektor perbankan ikut menikmati dinamika perubahan LTV dan FTV. Oleh karena itu, potensi yang dapat mendorong kredit macet harus diinventarisasi agar risiko negatifnya tetap bisa ditekan. BI dan OJK juga harus berkoordinasi dengan pemerintah, terkait keseimbangan pasar secara riil dalam jangka waktu tertentu. Jangan sampai keduanya memiliki gap yang relatif tinggi karena akan berpengaruh terhadap naik/turunnya harga riil perumahan.
Inilah yang begitu ditekankan di dalam UU PPKSK Pasal 12 mengenai pentingnya koordinasi di antara anggota FKSSK. Setiap institusi di dalamnya sudah waktunya belajar memperlonggar akses informasi yang akurat dan cepat terhadap stakeholders lainnya, untuk melahirkan kebijakan makroprudensial yang komprehensif dan terintegrasi. Yang paling banyak disorot adalah koordinasi antara BI dan OJK, yang sering dianggap suboptimal karena jaringan koordinasi yang lemah, sering tumpang tindih, dan terkadang berjalan sendiri-sendiri. Fungsi BI sebagai lender of the resort akan menjadi kurang optimal, jika tidak diimbangi sharing informasi yang berkualitas dengan OJK.
Sampai saat ini terkesan, koordinasi antara otoritas moneter (BI dan/atau OJK) justru lebih baik ketika duduk membicarakan rencana kebijakan dengan otoritas fiskal, dibandingkan saat berkoordinasi antarsesama otoritas moneter. Apakah ini karena pembagian wewenang antara makro dan mikroprudensialnya belum sepenuhnya clear, atau sumber masalahnya justru karena sisi kelembagaannya belum menghadirkan modal sosial yang kuat di antara kedua lembaga? Atau apakah memang perlu dibentuk badan supervisi baru yang berwenang mengawasi pola koordinasi di antara kedua instansi?
Kita tinggal menunggu bagaimana kedua institusi bisa mengejawantahkan secara akurat substansi-substansi, yang terkandung di dalam UU PPKSK. Karena kinerja keduanya tidak terbatas hanya pada Paket Kebijakan Ekonomi, tetapi akan terus bergulir sepanjang FKSSK tetap dibutuhkan, dalam mendukung perwujudan stabilitas sistem keuangan.
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya