Senin 14 Nov 2016 14:00 WIB

Trump dan Islamofobia

Red:

Banyak umat Islam cemas setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS), terutama Muslim AS. Mereka khawatir keputusan eksekutif Trump tentang umat Islam akan seperti materi kampanye dan komentar negatifnya di media sebelum pemilu presiden. Trump, misalnya, pernah berkomentar tentang imigran Muslim, ajaran Islam, dan radikalisme.

Akan tetapi, setelah memastikan dirinya terpilih dan menerima ucapan selamat dari mantan rivalnya Hillary Clinton, Trump mengisyaratkan dirinya siap berubah. Sinyal perubahan sikap tersebut semakin kuat saat Trump bertemu dengan Presiden Barack Obama dan Ketua DPR Paul Ryan. Trump yang pernah mempertanyakan kelahiran Obama dan berkomentar tidak pantas, menyebut Obama sebagai orang baik dan merupakan kehormatan besar bertemu dengannya. Situasi serupa juga terjadi antara Trump dan Ryan.

Lagi pula, Partai Republik yang mencalonkan Trump memiliki organ bernama Republican Muslim Coalition (RMC). Pemimpin RMC Saba Ahmed meminta Muslim AS melupakan (kampanye), bersikap lebih proaktif dan mempunyai jangkauan strategis dengan politisi Republik (Al Jazeera, 10 November). Kelompok Muslim yang lain lebih berhati-hati, misalnya Council of American Islamic Relations yang meminta Trump untuk menghormati konsitusi AS dan nilai-nilai yang membangunnya.

Sayangnya, media mapan AS cenderung melakukan framing dengan cara hanya mewartakan Muslim AS yang mendukung Hillary. Media-media besar tersebut sangat membela Hillary, dan baru berubah dratis pada hari pemungutan suara saat Trump langsung unggul dalam perolehan electoral votes. Pada saat yang sama, media mapan tersebut melakukan framing bahwa Trump anti-Islam. Itu terindikasi dari kompilasi pernyataan Trump di Republika, 10 November. Mayoritas pernyataan negatif diucapkan dalam wawancara dengan media. Sementara pernyataan di akun pribadi, sudah dihapus justru sebelum pemilu.

Meski demikian, sebagian Muslim di AS dan banyak negara di Eropa wajar merasa lebih nyaman dengan Hillary dan Demokrat, karena program partainya sangat menghormati kelompok minoritas. Namun, isu penghargaan kelompok minoritas akan merugikan negara yang mayoritasnya berpenduduk Muslim. Sebab, Demokrat mengusung banyak isu kelompok minoritas yang bertentangan dengan Islam, seperti LGBT, Ahmadiyah, pernikahan sejenis, dan lain-lain. Bila isu tersebut dilegalisasi akan terjadi masalah besar. Misalnya, upaya legalisasi RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG), gugatan atas UU Perkawinan dan KUHP.   

Pengotakan media bahwa Muslim mendukung Demokrat bisa jadi akan memengaruhi opini para pendukung Trump, terutama di negara bagian basis Republik. Sebagian Muslim juga merasa khawatir, bahkan ada yang menyatakan, di akun media sosialnya ingin tidak mengenakan jilbab di luar rumah. Tetapi, hingga kini tidak ada bukti mereka diserang secara fisik setelah pemilu. Apalagi, demonstrasi di beberapa negara bagian basis Demokrat juga tidak melibatkan Muslim. Sikap menjaga jarak ini akan mengurangi risiko keamanan mereka. Apalagi, pendukung Trump dan Republik yang Muslim berpeluang membuka jalur ke Gedung Putih dan Kongres.

Namun, faktor terkuat yang mendorong Trump dapat menjadi presiden AS bagi semua orang (termasuk Muslim), seperti pidato kemenangannya adalah karena dia pengusaha. Mayoritas bisnisnya di sektor riil, dan merupakan investasi jangka panjang. Terlepas dari sebagian jenis usahanya bermasalah dalam pandangan Islam, dengan latar belakang tersebut Trump akan mengambil keputusan secara rasional daripada sentimen emosional. Keturunan Jerman dan Skotlandia ini akan mempertimbangkan banyak hal dari untung rugi, dan sejauh mana ruang untuk negosiasi.

Terlebih, masalah mayoritas konstituen Trump dan Republik adalah ekonomi. Fokus mereka adalah perbaikan perekonomian dalam negeri, termasuk penciptaan lapangan kerja, memperkuat kembali korporasi AS yang kalah bersaing dengan Cina, peninjauan perjanjian internasional bidang perdagangan, investasi, energi, dan sebagainya. Karena pengusaha, Trump akan lebih suka dengan program yang realistis dan membumi. Dia tidak akan terlalu yakin dengan pendekatan monetaris murni. Dia akan lebih yakin pendekatan sisi produksi (suplai) dan itu berarti akan mengembangkan perekonomian sektor riil, terutama swasta.

Situasi ini membuka peluang mereduksi paham Islamofobia. Umat Islam, baik di AS, Indonesia, maupun negara lain, berkesempatan menawarkan kerja sama dalam pengembangan perekonomian berbasis nilai-nilai Islam. Misalnya, perbankan dan pembiayaan syariah, pariwisata halal, industri makanan halal, dan sebagainya. Trump berprasangka negatif mungkin karena tidak tahu bahwa dengan perekonomian Islam, pertumbuhan akan lebih besar dan merata, lebih kebal terhadap krisis, mampu membuka lapangan kerja, dan memelihara kepercayaan di antara para pihak.

Para pengusaha Indonesia, misalnya, dapat menyampaikan kepada Trump dan politisi Republik bahwa riset IMF tahun 2015 terhadap pertumbuhan ekonomi dari 1990-2010 menemukan negara, yang mempunyai perbankan Islami tumbuh lebih cepat daripada yang tidak. Riset berjudul "Is Islamic Banking Good for Growth?" juga menemukan bahwa meskipun kontribusinya masih kecil, perbankan Islami lebih tahan guncangan dan pertumbuhannya lebih inklusif daripada perbankan konvensional. Dengan demikian, kerja sama perekonomian AS dengan negara-negara Muslim akan bermanfaat, baik untuk kesejahteraan, toleransi antarumat beragama, maupun diseminasi nilai-nilai Islam yang universal.

Fahmi Alfansi P Pane

Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement