Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, keduanya telah mengirim sinyal positif ke Washington dalam upaya mendukung kerja sama yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan bilateral kedua negara. Hal ini dilatarbelakangi oleh suatu relevansi yang tumbuh dari tantangan nyata dalam memerangi terorisme, yang merupakan ancaman global.
Presiden Putin telah berbicara melalui telepon dengan presiden AS terpilih, Donald Trump. Hal ini dapat menjadi indikator yang memungkinkan peningkatan hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat pada masa depan ke arah yang lebih baik.
Namun, saat Rusia mengintensifkan upaya nyata untuk menangani ISIS dan antek-antek mereka yang berbahaya di Suriah, dari pihak Barat justru terdengar tuduhan menyesatkan yang dialamatkan kepada Rusia dalam menjalani upaya tersebut.
"Demonisasi" (demonization) Rusia yang tidak berdasar dan melencengkan pemahaman politik luar negerinya merupakan suatu trik lama yang dilancarkan oleh pihak Barat. Hal ini dilakukan guna mengalihkan perhatian publik dari negara mereka sendiri, di mana sesungguhnya berlangsung pelanggaran hukum internasional secara nyata dan kebijakan korup yang memalukan.
Banyak contoh yang dapat membuktikan hal tersebut. Salah satu yang paling nyata adalah masalah Suriah, di mana Barat secara nyata telah menyebar tesis (pemahaman) palsu yang menyatakan bahwa Rusia hadir di sana bukan untuk melawan terorisme, melainkan guna "menyelamatkan rezim Bashar al-Assad."
Namun, pada kenyataannya, secara penuh dan sesuai dengan norma dan hukum internasional yang berlaku, kami bekerja sama dengan pemerintah yang sah dari negara berdaulat Suriah. Dengan tujuan untuk menghilangkan ISIS, Jabhat Al-Nusra, dan sejenis lainnya, yang telah teridentifikasi sebagai kelompok teroris oleh Dewan Keamanan PBB.
Dalam menanggapi permintaan resmi dari pemerintah sah dan berdaulat di Suriah, Angkatan Udara Rusia bekerja sama secara professional dan efektif menargetkan hanya pada teroris dan infrastruktur mereka.
Adapun yang menjadi tujuan utama kami adalah memberikan bantuan kepada pemerintah yang sah dan berdaulat untuk memerangi terorisme di tanah airnya. Dan, sejalan dengan hal tersebut, kami membantu warga Suriah, baik pemerintah maupun pihak oposisi, untuk membangun jalur dialog inklusif untuk menentukan sistem politik dan pemimpin negara mereka pada masa depan.
Dapat kita setujui bahwa hal ini sangat berbeda jauh dengan kebijakan pemerintah Obama dan pemerintah Barat lainnya. Di mana tujuan utamanya bukan untuk menumpas terorisme di Suriah, melainkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berdaulat. Bila tidak, bagaimana kita dapat menjelaskan tindakan Angkatan Udara Amerika Serikat melakukan operasi di Suriah tanpa persetujuan dari pemerintah yang sah dan berdaulat. Hal ini merupakan contoh nyata pelanggaran hukum internasional.
Dalam hal yang sama terlihat ketidakmampuan atau lebih mengarah kepada keengganan Amerika Serikat untuk memenuhi janji mereka dalam memisahkan apa yang disebut "oposisi moderat" dari mereka "para teroris", termasuk "Jabhat Al-Nusra" di dalam perang yang pecah di Aleppo. Tampaknya ada yang berkeinginan memberikan perlindungan kepada organisasi teroris ini (yang notabene dilarang di Rusia) dari penyerangan dan berusaha melindungi serta memeliharanya guna menggulingkan pemerintah yang sah dan berdaulat di Suriah.
Contoh lainnya adalah di bagian tenggara Ukraina. Di mana perang dihentikan berkat upaya dari masyarakat internasional dengan partisipasi aktif dari Rusia. Di mana sesungguhnya perang itu sendiri dimulai oleh Pemerintah Ukraina terhadap warga negaranya sendiri yang tidak mau menerima perubahan kekuasaan secara tidak sah yang terjadi di negara itu pada 2014, yang terjadi akibat dari kudeta bersenjata.
Jadi, bukanlah Moskow penyebab mandeknya "Perjanjian Minsk" yang mengatur perimbangan politik di bagian tenggara Ukraina, seperti yang dikumandangkan oleh Barat, tetapi justru dari Pemerintah Ukraina sendiri. Di mana mereka menolak untuk menjalani poin-poin utama dari Perjanjian Minsk itu sendiri, seperti pemberian status khusus yang dimasukkan di dalam konstitusi untuk daerah di Donetsk dan Luhansk (Lugansk) Oblast, mengesahkan UU Amnesti dan menyelenggarakan pemilu lokal. Barat sendiri terlihat kurang bersemangat dalam mendorong mitra mereka—Kiev (Ukraina)—bahkan bisa dikatakan lebih ke arah memanjakannya. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mendukung termasuk mensponsori perubahan kekuasaan secara ilegal di Ukraina pada 2014 adalah Barat, bukan Rusia.
Dan contoh paling anyar dan izinkan saya di sini menyebut mungkin bisa dikatakan sebagai propaganda anti-Rusia yang paling konyol adalah disebarkannya mitos mengenai "turut campurnya" Rusia dalam pemilu Amerika Serikat, yang mengakibatkan kekalahan salah satu calon presiden di negara tersebut. Dan, seperti yang pada umumnya terjadi, Washington tidak dapat memberikan bukti konkret perihal tuduhan tersebut.
Suatu pertanyaan logis yang timbul adalah apakah Amerika Serikat benar-benar berpikir bahwa urusan dalam negeri mereka dapat begitu mudahnya disusupi atau diintervensi melalui peretasan (hacker) sistem teknologi informasi mereka? Apakah hal tersebut mungkin terjadi pada negara yang mengklaim dirinya sebagai "pemimpin dunia yang luar biasa" dan memiliki teknologi informasi (IT) tercanggih?
Dan memang merupakan suatu kenyataan di mana berbagai macam tipe propaganda dipergunakan oleh Barat hanya untuk mendiskreditkan Rusia! Rupanya mitra Barat kami merasa kurang nyaman dengan fakta di mana Rusia dengan gamblang mengecam metode-metode mereka yang tidak adil. Termasuk di sini melakukan campur tangan atau intervensi, termasuk intervensi kepada urusan dalam negeri negara lain yang ditujukan mengganti pemerintah yang tidak diinginkan, memaksakan model politik dan instrumen sosial-ekonomi mereka kepada negara-negara lain. Tetapi, dalam menerapkan tujuannya, mereka menggunakan kaum ekstremis nyata. Daftar mengerikan ini dapat dilanjutkan.
Kami sangat berharap bahwa kawan-kawan Indonesia kami dapat mengambil sikap kritis terhadap aksi propaganda Barat yang berhubungan dengan Rusia, di mana dalam aksi tersebut terlihat jelas ketidakkonsistenannya. Kami juga berharap bahwa Barat ke depan akan lebih berkembang ke arah yang lebih baik. Di mana akan mampu untuk lebih mendukung ke arah suatu kerja sama yang pada akhirnya akan membuahkan hasil yang baik daripada konfrontasi tak bermakna dengan negara kami.
Mikhail Yurievich Galuzin
Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia,