Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bukan lagi tolok ukur yang tepat untuk melihat kondisi perekonomian Indonesia. Saat acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa (6/12), Presiden mengatakan, dolar AS bukan lagi tolok ukur ekonomi yang tepat.
Bagi mantan gubernur DKI Jakarta tersebut, tolok ukur yang relevan adalah kurs rupiah dengan mata uang negara yang menjadi mitra dagang besar bagi Indonesia. Misalnya, Jepang dan Cina. Presiden menyebutkan porsi nilai perdagangan Indonesia dengan AS hanya 10 persen, sedangkan dengan Cina 15,5 persen, Eropa 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen.
Kita bisa memahami wacana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tersebut. Selama ini tolok ukur mata uang dipatok dengan dolar AS. Kinerja ekonomi dalam negeri pun terkesan selalu bermasalah ketika mata uang Negari Paman Sam tersebut mengalami penguatan. Apalagi dalam empat tahun ke depan, negara adidaya tersebut akan dipimpin oleh Donald Trump, yang akan mementingkan dalam negerinya dengan membuat nilai tukar dolar AS perkasa terhadap seluruh mata uang negara lain, termasuk tentunya rupiah.
Keinginan Presiden Jokowi tersebut sebenarnya telah lama digaungkan oleh beberapa negara. Dalam lima tahun terakhir, Rusia, Cina, dan Iran termasuk negara yang ingin meninggalkan dolar AS. Tahun lalu, misalnya, Rusia sudah mengajak Indonesia untuk menciptakan mata uang alternatif untuk perdagangan bilateral. Karena penggunaan mata uang dolar AS dalam perdagangan bilateral atau dunia, hanya akan menguntungkan Amerika Serikat.
Seperti diberitakan laman Russia Today pada 10 April 2015, Rusia mengusulkan pembayaran tanpa menggunakan dolar AS untuk berdagang dengan Indonesia. Tawaran ini merupakan yang ketiga di Asia Tenggara setelah Thailand dan Vietnam. Menteri Perdagangan dan Perindustrian Rusia, Denis Manturov berharap Indonesia menerima usulan tersebut karena Rusia merasa telah berpengalaman dalam pembayaran jenis ini dengan India dan Cina.
Saat masih berkuasa pada 2000, mendiang presiden Irak Saddam Hussein melakukan langkah yang sangat berani dengan meninggalkan dolar AS. Pada November di tahun itu, Saddam Hussein memutuskan tidak lagi menggunakan mata uang dolar AS dalam seluruh transaksinya. Yang paling besar adalah hasil penjualan minyak Irak, yang dalam lima tahun nilainya mencapai 60 miliar dolar AS. Saddam juga mengubah cadangan devisanya 10 miliar dolar AS yang disimpan di BNP Paribas (Prancis) cabang New York ke Euro, mata uang tunggal Eropa yang kala itu lagi naik daun.
Jadi, kegerahan terhadap terlalu berkuasanya dolar AS dalam ekonomi dunia sudah berlangsung lama. Tidak hanya muncul dalam satu atau dua tahun terakhir. Kita memandang wajar jika Jokowi juga mempunyai wacana untuk tidak terlalu bergantung pada dolar AS yang dalam berpuluh-puluh tahun menjadi mata uang 'tunggal dunia'.
Keperkasaan dolar AS sesungguhnya dimulai di Konferensi Bretton Woods pada 1944, yang melahirkan Bank Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional). Sistem nilai tukar mata uang dunia dilaksanakan dengan mengikat nilai tukar mata uang negara-negara anggota IMF secara ketat terhadap dolar AS. Mata uang negara lain hanya boleh naik-turun sebesar satu persen terhadap dolar AS. Jaminannya dolar AS pun diikat dengan emas; satu ounce (28,1 gram) setara dengan 35 dolar AS.
Keputusan ini otomatis menjadikan dolar AS sebagai mata uang utama dunia. Dolar AS telah menjadi sangat perkasa dalam perekonomian dunia, yakni sebagai cadangan devisa seluruh negara di dunia, alat intervensi di pasar valas, dipakai untuk hampir seluruh transaksi barang dan jasa di seluruh dunia. Dua per tiga cadangan devisa di seluruh dunia menggunakan dolar AS.
Lantas apakah itu artinya wacana Presiden Jokowi hanya menjadi angan-angan semata? Tentu saja tidak meski untuk mewujudkannya, kita akan menemukan jurang dan rintangan yang cukup besar. Apalagi, Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan keinginan Presiden untuk menahan persepsi rupiah terhadap dolar AS bukan berarti mengganti acuan yang selama ini sudah terbentuk.
Namun, opsi ini selanjutnya akan menjadi kajian pemerintah, yang persepsi nilai tukarnya akan mengacu pada negara-negara mitra dagang.
Meski demikian, bukan berarti kita tidak bisa lepas sama sekali dengan dolar AS. Dalam langkah kecil, pemerintah bisa menerapkan dengan tegas penggunaan mata rupiah dalam seluruh transaksi di dalam negeri. Bila masih ada transaksi di dalam negeri yang menggunakan dolar AS, pemerintah bisa memberikan sanksi yang tidak ringan. Selain itu, pemerintah juga harus berani mengambil terobosan dengan meninggalkan mata uang dolar AS, saat melakukan perdagangan dengan negara-negara yang mata uangnya bukan dolar AS.
Dengan begitu, ketergantungan kita dalam perdagangan tidak semuanya berada di mata uang negara, yang mulai bulan depan dipimpin Donald Trump.