Belakangan ini masyarakat semakin akrab dengan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech). Sejalan dengan perkembangan teknologi, fintech menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang akan melakukan transaksi keuangan.
Bahkan, perkembangan fintech juga kemarin menjadi perhatian serius dua lembaga penting di negeri ini. Pertama, Mabes Polri yang mendalami temuan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) soal aliran dana Bahrun Naim yang disebut-sebut simpatisan ISIS, ke jaringannya di Indonesia untuk pembiayaan aksi teror. Kabag Penum Divhumas Polri Martinus Sitompul, kemarin, mengatakan transaksi keuangan lewat fintech itu akan didalami untuk bisa dipahami tujuan aliran dananya.
Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, perusahaan fintech telah meningkat tiga kali lipat dari 51 pada kuartal I 2016 menjadi 135 perusahaan pada kuartal IV 2016. Dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (10/1), Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK, Imansyah mengatakan, pertumbuhan yang cepat ini harus diantisipasi untuk perlindungan konsumen terkait keamanan data dan pencegahan pencucian uang. Maka dari itu, perusahaan fintech harus segera mendaftar ke OJK.
Sepuluh tahun lalu mungkin kita masih belum mengenal 'barang' fintech ini. Seiring dengan perjalanan waktu, secara perlahan-lahan pelaku keuangan mulai menggunakan jasa fintech. Fintech adalah sebutan dari kata financial technology yang berarti inovasi pembiayaan keuangan dengan memanfaatkan teknologi sebagai pendukungnya. Saat ini perusahaan fintech di Indonesia didominasi beragam start up yang masing-masing memiliki kelebihan dan potensi besar sebagai sumber pendanaan untuk modal usaha. Di Indonesia, perusahaan fintech memiliki banyak jenis, di antaranya peminjaman (lending), pembayaran, perencanaan keuangan, riset keuangan, dan masih banyak lagi.
Kita menyadari kemajuan teknologi tak mungkin bisa dihindari. Jasa keuangan yang jauh sebelum ini lebih banyak didominasi oleh perbankan, kini sudah semakin banyak pilihan. Dan, fintech bukan tidak mungkin akan menjadi pilihan banyak orang dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang harus menjadi perhatian serius terkait dengan fintech. Pertama, penyalahgunaan fintech untuk mendukung pendanaan terorisme dan pencucian uang. Berbeda dengan perbankan yang transaksinya lebih mudah untuk dilacak, fintech memang akan lebih sulit siapa saja pelaku dari transaksi keuangannya. PPATK juga mengakui tentang hal ini. Namun, PPATK menyatakan, pada akhirnya alur penerimanya tetap saja diketahui.
Kita mendukung langkah cepat PPATK yang membentuk divisi khusus di bidang ini. Dengan begitu, diharapkan PPATK dapat memantau transaksi-transaksi yang mencurigakan lewat fintech, sehingga pencucian uang ataupun pendanaan terorisme yang masuk ke Indonesia dapat terpantau.
Kedua, yang harus menjadi perhatian pemerintah terhadap perkembangan fintech adalah peraturan untuk melindungi nasabah. OJK sebagai lembaga yang mempunyai otoritas di sektor keuangan harus bertindak cepat. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK 01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau Fintech Peer to Peer (P2P) Lending, diatur bahwa perusahan fintech wajib mendaftarkan diri dalam jangka waktu enam bulan sejak aturan diterbitkan, atau maksimal semester pertama 2017.
Pertumbuhan yang cepat ini harus diantisipasi untuk perlindungan konsumen, terkait keamanan data dan pencegahan pencucian uang. Seperti PPATK yang berupaya agar terorisme tidak menyalahgunakan fintech, OJK juga harus bergerak cepat untuk melakukan pengawasan kepada perusahan-perusahaan fintech. Pengawasan yang ketat penting agar fintech yang lahir sejalan dengan perkembangan teknologi, akan dapat memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat.
Kita bisa belajar perkembangan fintech di sejumlah negara yang telah mengenal lebih dahulu lembaga ini. Dengan begitu, kita bisa mengelola dan mengoperasikan fintech dengan lebih baik. Sebagai sebuah sistem baru tentu saja ada ketidaksempurnaannya.
Selain itu, masyarakat juga harus belajar soal fintech. Masyarakat harus cerdas menggunakan fintech. Jangan sampai karena kebodohan dan keawaman, masyarakat yang dirugikan dengan kehadiran fintech. OJK sangat berperan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana menjadi nasabah fintech yang pintar.