"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,'" sebenarnya mereka itu bukan orang-orang yang beriman. (8) "Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Mereka sebenarnya tidak menipu siapa-siapa selain dirinya sendiri tetapi mereka tidak sadar." (9) "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (QS 2: 8-10).
Masalah kabar hoax pada akhirnya menjadi perhatian serius banyak orang, dan diharapkan menjadi musuh bersama umat Islam. Sejak pemerintah mulai menyisir laman berita yang memproduksi kabar hoax, masyarakat menyambut baik dan mengapresiasi.
Apresiasi itu muncul berupa aksi nyata ormas dan komunitas. Paling tidak selama delapan hari usia tahun 2017, sudah kali peresmian perang terhadap hoax. Pertama kali gerakan ini dipelopori oleh PBNU dan disusul gerakan anti-hoax yang diluncurkan pada 8 Januari di car free day dengan menggandeng tokoh intelektual, Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat.
Kehadiran berita hoax memang sudah cukup memprihatin dan telah mencapai garis darurat. Telah banyak korban yang digulung oleh berita hoax ini. Tema berita hoax ini diawali dengan tema berita kemanusiaan akibat perang dan konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah.
Anehnya, yang menjadi korban berita hoax ini tidak hanya orang biasa dan awam, tetapi juga intelektual dan terdidik. Sehingga kehadiran berita hoax, pada umumnya telah mengubah sikap beragama umat Islam, lintas usia, dan latar pendidikan menjadi keras dan kasar.
Produk lama
Padanan kata hoax (Inggris) dalam bahasa Arab adalah Khadi'ah, Khud'àh, Hilah, dan Makr yang berarti menipu dan mengolok-olok. Bila ditelusuri melalui Alquran, orang yang memproduksi berita hoax ini pada umumnya adalah orang-orang munafik dengan tujuan merusak agama, adu domba, dan provokasi.
Akar kata yang sama dengan Khadi'ah dan Khud'ah terdapat dalam QS 2: 9. Tetapi, didahului oleh pernyataan tentang iman (QS 2: 8) dan dilanjutkan dengan menyebutkan motif memproduksi atau menyebarkan hoax itu sendiri, yaitu sakit hati, iri, dengki, dan ragu terhadap Islam.
Ini berarti bahwa pekerjaan memproduksi hoax dan menyebarkannya bukanlah pekerjaan orang beriman meskipun kebanyakan mereka--yang memproduksi dan menyebar berita itu--mengaku beriman seperti yang terdapat dalam QS 2: 8.
Meski ada yang berpendapat bahwa berita hoax telah menyatukan umat Islam, persatuan itu tidak lain dari hasil kerja yang batil. Sesuatu yang dihasilkan dari usaha batil, takkan pernah mendatangkan kebaikan. Sebaliknya, hanya akan menuai keburukan.
Adanya ayat ini, dapat dipahami sebagai isyarat bahwa dalam sejarah umat beragama, masalah hoax adalah lagu lama. Peringatan Tuhan pada manusia tentang berita hoax, yang telah ada sejak 14 abad silam--dan hingga hari ini masih sangat relevan--menunjukkan hoax selalu hadir dalam kehidupan masyarakat beragama untuk merusak kerukunan beragama dan menciptakan perang.
Sikap Islam
Ayat tersebut di atas sebenarnya menunjukkan bahwa memproduksi dan menyebar berita hoax bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu. Namun, kenyataan tak dapat diingkari bahwa kebanyakan pelakunya berlatar agama.
Tentu saja sangat memprihatinkan, ketika mereka yang memproduksi dan menyebar berita hoax itu adalah orang-orang yang sedang merasa sedang berjuang untuk agama.
Sikap tegas Islam terhadap hoax, tidak lain karena akibat yang ditimbukannya, yaitu rusaknya kerukunan beragama. Berita hoax juga telah menyebabkan antarsesama anak bangsa menjadi saling membenci satu sama lain.
Karena besarnya akibat yang ditimbulkannya, seruan jihad melawan hoax layak dikumandangkan. Sehingga kehidupan beragama yang damai dan rukun dapat kembali tercipta untuk membangun bangsa yang beradab.
Selain itu, oleh karena motif berita hoax adalah sakit hati, iri, dan dengki, ketimpangan pemberitaan dan pembingkaian yang berlebihan yang dilakukan media mainstream menjadi penting untuk dievaluasi.
Sehingga jihad melawan hoax tidak terjadi secara sepihak tanpa dorongan pada media mainstream untuk memproduksi berita yang berimbang, dengan pembingkaian yang wajar dan bebas dari kepentingan politik praktis.
Melawan hoax tanpa perbaikan dan evaluasi yang berarti dari media mainstream, hanya akan menimbulkan antipati masyarakat. Semoga gerakan melawan hoax menjadi gerakan yang adil tanpa diskriminasi undang-undang, kekuasaan, dan sarat politik.
Muhammad Yusuf el-Badri
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta