Indonesia sedang menghadapi ketakseimbangan struktural. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,21 persen pada kuartal I 2014. Tapi, pertumbuhan yang tinggi itu belum dapat mempersempit kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah.
Angka Gini rasio yang meningkat menunjukkan jurang itu masih menganga. Gini rasio Indonesia pada 2013 tercatat sebesar 0,413, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 0,41.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan, Gini rasio yang meningkat disebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipicu sektor nontradable, seperti hotel, komunikasi, dan jasa keuangan. "Investornya banyak di kelompok atas. Misalnya, siapa yang bisa beli bond, beli saham. Kan segmen atas," ujarnya.
Sedangkan, kontribusi sektor tradable, seperti pertanian, pertambangan, dan industri menurun. Padahal, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan ekonomi dalam menyerap tenaga kerja.
Destry mengatakan, pada 2007 setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 710 ribu tenaga kerja. Adapun, pada 2012 setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 184 ribu tenaga kerja.
Asisten Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Muslimin Anwar mengatakan, Indonesia membutuhkan reformasi struktural. Salah satu alasannya karena Indonesia memiliki kendala kapasitas produksi yang menyebabkan ketidakseimbangan makroekonomi. "Di sisi penawaran, struktur produksi yang terbentuk dalam satu dekade terakhir semakin ketinggalan zaman," ujar Muslimin.
Peningkatan permintaan domestik terpaksa dipenuhi impor yang ujung-ujungnya membuat defisit transaksi berjalan membengkak. Ia mencontohkan, permintaan masyarakat terhadap makanan belum jadi, seperti padi-padian, menurun seiring peningkatan kelas. Sedangkan, permintaan akan makanan yang diolah meningkat. Teknologi Indonesia yang ketinggalan zaman membuat kita harus mengimpor.
Selanjutnya, hal yang menjadi masalah adalah kurangnya modal dasar pembangunan, seperti infrastruktur konektivitas, SDM yang andal, dan iklim usaha yang kondusif. "Listrik masih banyak pemadaman saat ini," ujarnya.
Tantangan ketiga adalah struktur pembiayaan. Ia mengatakan, sumber dana jangka panjang masih terbatas karena pasar keuangan domestik masih dangkal. Di pasar valas pun perkembangan pasar valas domestik masih dangkal dan tertinggal dibandingkan kondisi negara kawasan.
Reformasi struktural
Bank Indonesia akan mendorong percepatan reformasi struktural pada 2015. Dengan dilakukannya reformasi struktural, Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan ke depannya. Reformasi struktural akan membuat Indonesia dapat tumbuh 6,5 persen pada 2018. "Tanpa reformasi struktural, perekonomian maksimal hanya akan tumbuh enam persen dengan risiko terjebak pada middle income trap," ujar Gubernur BI Agus DW Martowardojo.
Reformasi struktural meliputi penguatan basis pembiayaan pembangunan dengan mendorong transaksi repo antarbank. Tujuannya adalah mendukung terbentuknya interbank money market line yang lebih luas dan tahan terhadap gejolak, memitigasi permasalahan default risk, dan mendorong pengelolaan likuiditas perbankan yang lebih efektif dan efisien.
Agenda kedua adalah meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Indonesia harus menjadi bagian dari rantai nilai global. Misalnya, untuk gadget, Indonesia harus memproduksi salah satu bagiannya, seperti chip.
BI menilai, pengembangan industri berteknologi menengah-tinggi dapat dilakukan di Jawa, sedangkan kawasan luar Jawa dapat dikembangkan untuk industri bahan baku berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. "Jawa didorong untuk memproduksi teknologi yang menengah dan tinggi. Nantinya, mendukung yang di luar Jawa untuk menjadi substitusi impor," ujarnya.
Agenda selanjutnya adalah peningkatan kemandirian ekonomi dengan percepatan pembangunan infrastruktur untuk konektivitas fisik dan digital. Ini harus didukung ketahanan pangan dan energi. "Kita harus mengelola energi dengan baik. Besarnya subsidi energi, bahan bakar minyak, listrik, bagaimana bisa mengelola ini dengan baik, serta mempersiapkan energi allternatif," ujar Agus. Selain energi, manajemen pangan pun harus diperbaiki.
Reformasi struktural dapat dilakukan dengan optimalisasi ruang fiskal. Optimalisasi dapat mendukung pembangunan infrastruktur dan stimulus perekonomian, khususnya belanja modal. Belanja infrastruktur pemerintah memiliki kontribusi positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur juga dapat menurunkan tekanan harga yang berdampak positif pada inflasi.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, Indonesia harus memastikan inflasi dan defisit transaksi berjalan terkendali agar likuiditas global dapat masuk. Kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama kalangan kelas menengah yang terus meningkat harus didorong. "Kemampuan peningkatan produksi masih terbatas. Kita akhirnya harus impor sejumlah bahan pangan, impor bahan baku otomotif, properti. Ini yang menyebabkan defisit transaksi berjalan," ujarnya.
Peningkatan produksi harus dilakukan untuk menggantikan produk impor. Pembangunan infrastruktur untuk konektivitas antardaerah pun harus ditingkatkan karena dapat memfasilitasi investasi domestik. Dana dari dalam negeri bisa diinvestasikan di samping untuk investasi asing. Infrastruktur penting untuk mendorong pertumbuhan dan mengendalikan inflasi.
Perry menegaskan, apa pun yang terjadi di global, reformasi struktural harus dilakukan. "Kalau tidak, kita akan terus-terusan mengalami seperti itu ketika pertumbuhunan ekonomi naik, defisit transaksi berjalan membengkak, nilai tukar melemah, inflasi tertekan," ujarnya. Hal-hal tersebut adalah ciri kondisi struktur ekonomi yang tidak sehat dan tak mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan.rep:satya festiani ed: nur hasan murtiaji