Senin 18 Aug 2014 19:00 WIB

Pabrik Gula Menanti Janji Revitalisasi

Red: operator

Peningkatan rendemen dan revitalisasi pabrik gula menjadi hal yang tidak kalah penting dalam meningkatkan produktivitas gula petani.

Industri gula di Indonesia dihantui oleh rendahnya nilai rendemen tebu. Di samping itu, tuanya usia pabrik gula (PG) yang beroperasi di Indonesia juga menjadi faktor lemahnya industri gula dalam negeri. Tak pelak, target swasembada gula 2014 yang sempat digemborkan oleh pemerintah bisa jadi hanya menjadi wacana belaka.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir mengatakan, rerata rendemen tebu di Pulau Jawa berkisar antara enam sampai tujuh persen. Sementara, di luar Jawa nilainya bisa lebih tinggi mencapai tujuh hingga delapan persen.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:R.REKOTOMO/ANTARA

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (kanan) didampingi Administrator PG Rendeng Kudus Teguh Agung Tri Nugroho (kiri), saat berkunjung di Pabrik Gula Rendeng Kudus, Jateng, Sabtu (28/7).

 

Diungkapkan Gamal, pemerintah, dalam hal ini Kementan dan Kementerian Perindustrian, tengah mengupayakan revitalisasi PG-PG milik pemerintah. Selain revitalisasi, pada musim giling Mei-Oktober ini Kementan juga menerjunkan tim independen di lapangan. Tim independen terdiri atas kaum akademisi dari perguruan tinggi dan perwakilan dari asosiasi petani tebu. Tim ini bertugas memantau perjalanan tebu dari lahan hingga diolah menjadi gula di pabrik.

"Tahun ini kami menurunkan tim independen untuk mengawasi rendemen tebu agar tidak ada keributan lagi antara petani dan PG," jelas Gamal, belum lama ini.

Gamal menambahkan, rendahnya rendemen tebu juga diakibatkan oleh faktor cuaca. Hujan yang turun pada musim kering mengakibatkan tumbuhnya bunga pada batang tebu. Pertumbuhan bunga ini, lanjutnya, mengurangi nira yang terkandung dalam batang tebu.

Saat ini, di Indonesia tercatat ada 456 ribu hektare lahan tebu, baik milik swasta maupun milik rakyat. Pada 2014, pemerintah menargetkan produksi gula dalam negeri mencapai 2,9 juta ton. Namun, dengan menurunnya nilai rendemen, maka diperkirakan produksi gula belum dapat mencapai target. Gamal memperkirakan, jumlah produksi gula dalam negeri hanya menyentuh angka 2,4 juta-2,5 juta ton.

Percepat Revitalisasi

Direktur Jenderal Industri Agro Kementrian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto menjelaskan, pemerintah telah melakukan program revitalisasi PG selama lima tahun terakhir. Meski demikian, ia mengakui revitalisasi belum sepenuhnya berjalan optimal. "Ada beberapa PG yang sudah efisien, namun ada pula yang belum," terang Panggah baru-baru ini. Revitalisasi, lanjutnya, telah dilakukan di beberapa PG di PTPN X dan PTPN XI.

Saat ini, pemerintah tengah melakukan evaluasi mengenai program revitalisasi PG. Menurut Panggah, ada dua opsi dalam melakukan revitalisasi. Pertama, melakukan pemotongan harga terhadap pembelian mesin-mesin pabrik. Kedua, rencana melakukan revitalisasi total namun hanya pada beberapa PG.

Pemotongan harga sebesar 15 persen diberikan kepada PG-PG yang akan mengganti mesinnya. Sementara, jika PG tersebut memenuhi kandungan lokal tingkat konsumsi dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen, potongan harga pembelian mesin yang diberikan sebanyak 25 persen.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Tengah Sukadi Wibisono mengatakan, usia PG yang tua menyebabkan rendemen tebu tak pernah menggembirakan. Dari 12 PG di Jateng, hanya PG di Blora yang rendemen tebunya mencapai delapan persen. Lainnya masih ada pada angka enam persen bahkan kurang.

Menurut Sukadi, pemerintah perlu segera merevitalisasi PG. Jika tak ada upaya revitalisasi, petani tebu akan terus didera kerugian. Ia menjelaskan, biaya yang dibutuhkan untuk revitalisasi satu PG rata-rata mencapai Rp 1 triliun. Jika setelah revitalisasi rendemen bisa naik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami surplus gula.

Di perusahaan swasta, lanjut Sukadi, rendemen tebu berkisar antara 9-10 persen. Ia menambahkan, produksi tebu di Jateng sudah bagus. Sayangnya, rendemen yang rendah mengakibatkan kebutuhan gula tak pernah tercukupi oleh produksi dalam negeri. Saat ini, luas kebun tebu rakyat di Jateng tercatat 67 ribu hektare dengan rerata produktivitas lahan sebesar 600 kuintal per hektare.

Naikkan HPP Gula

Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi, mulai  8 Agustus memberlakukan penetapan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih (GKP) sebesar Rp 8.500/kg. Penetapan HPP tersebut dituangkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/8/2014 tanggal 7 Agustus 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/5/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih Tahun 2014. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/5/2014 sebelumnya, HPP ditetapkan sebesar Rp 8.250/kg.

Mendag menerangkan, kenaikan HPP GKP ini dalam rangka meningkatkan insentif kepada petani. Dengan demikian, kesejahteraan dan pendapatan petani dapat lebih meningkat. Muaranya, produktivitas gula petani akan ikut tergenjot.

Namun, HPP bukan satu-satunya instrumen yang dapat mendukung kesejahteraan petani gula. "Peningkatan rendemen dan revitalisasi pabrik gula menjadi hal yang tidak kalah penting dalam meningkatkan produktivitas," jelas Mendag dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, Kemendag melalui surat Menteri Perdagangan Nomor 915/M-DAG/SD/8/2014 tanggal 8 Agustus 2014 menginstruksikan kepada sebelas importir/produsen gula kristal rafinasi  (GKR) yang telah mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) untuk menyalurkan secara langsung GKR kepada industri makanan dan minuman tanpa jasa distributor.

SPI sejumlah 502,3 ribu ton tersebut merupakan sisa alokasi impor raw sugar 2014. Instruksi ini bertujuan agar GKR sesuai peruntukannya, yaitu untuk industri makanan minuman dan tidak merembes ke pasar konsumsi.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina mengimbau kepada para distributor agar sisa stok GKR yang masih berada di bawah penguasaan para distributor tidak dijual ke pasar konsumsi. Hal ini untuk mendukung perdagangan gula dalam negeri agar tetap kondusif.

"Besaran HPP yang meningkat dari Rp 8.250/kg menjadi Rp 8.500/kg tetap didasarkan tingkat rendemen 8,07 persen namun dengan meningkatkan keuntungan petani dari Rp 358/kg menjadi Rp 608/kg, sebagai kompensasi biaya karena capaian rendemen yang masih rendah," tambah Srie.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APTRI Arum Sabil mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Namun, ia menilai penetapan harga itu masih di bawah biaya produksi gula yang mencapai Rp 9.000 per kilogram. Jika keadaan seperti ini dibiarkan terus-menerus, maka petani akan enggan menanam tebu.

Dengan kebutuhan gula dalam negeri sebesar Rp 17 kilogram per kapita per tahun, Indonesia masih mengimpor sebesar 3,5 juta ton per tahun. Kondisi ini makin diperparah dengan merembesnya gula rafinasi ke pasaran. Akibatnya, gula produksi petani lokal kalah bersaing dengan gula impor.

Arum memandang revitalisasi yang dilakukan di PG-PG milik pemerintah hanya dilakukan setengah hati. Karena, meski direvitalisasi, angka rendemen tak kunjung membaik. "Saya berharap adanya audit terhadap anggaran revitalisasi karena meski telah direvitalisasi, efisiensi PG masih rendah," pungkas dia. rep:c88 ed: irwan kelana

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement