Senin 11 Jan 2016 15:00 WIB

Tantangan Mengurangi Kemiskinan

Red:

Jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin banyak. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya sudah mencapai 28,51 juta jiwa atau 11,13 persen dari total jumlah penduduk per September 2015. Warga miskin bertambah bertambah 780 ribu jiwa jika dibandingkan dengan posisi September 2014.

Menurut Kepala BPS Suryamin, jumlah penduduk miskin di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan sejak Maret 2012. Pada periode tersebut, jumlah penduduk miskin mencapai 29,25 juta jiwa atau 11,96 persen. Padahal, jumlah penduduk miskin sempat mengalami penurunan drastis pada periode 2009-2011 dari 32,53 juta jiwa menjadi 30.01 juta jiwa.

"Kalau sudah di level 10-11 persen, sulit menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Butuh strategi khusus," kata Suryamin dalam paparannya, di kantor BPS, awal tahun ini.

Suryamin menyatakan, program pengentasan kemiskinan harus benar-benar menyentuh karakteristik dari penduduk miskin. Dia menyebutkan, penduduk miskin yang sekarang jumlahnya mencapai 11,13 persen kebanyakan bekerja di sektor pertanian.

Sebanyak 54 persen kepala rumah tangga penduduk miskin bekerja sebagai buruh tani. "Kalau buruh tani, sekarang menanam besoknya bisa menganggur. Ini perlu dicarikan solusi dengan memberikan keahlian lain," ujar dia.

Selain itu, usia kepala rumah tangga penduduk miskin rata-rata 50 tahun. Pendidikannya pun rendah. Paling tinggi hanya tamat sekolah dasar.

Beban tersebut ditambah karena banyaknya anggota keluarga yang ditanggung. Setiap kepala rumah tangga rata-rata punya empat sampai lima anak.

Satu hal yang sulit, kata Suryamin, adalah memberi pekerjaan bagi penduduk miskin berusia 50 tahun. "Kalau usia 50 tahun, dikasih kerjaan yang keras-keras juga susah. Ini harus dipikirkan seperti apa," ucapnya.

Meski begitu, pemerintah dinilai bisa menekan laju peningkatan angka kemiskinan dengan terus menyalurkan bantuan sosial, seperti beras miskin dan bantuan transfer tunai.

Di tengah masih banyaknya warga miskin, ada fakta menarik yang disampaikan BPS. Ternyata, rokok menjadi salah satu penyumbang terbesar kemiskinan di Indonesia. Suryamin mengungkapkan, rokok menjadi komoditas yang memberi kontribusi terbesar kedua sebesar 8,08 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan di perdesaan, kontribusinya 7,68 persen. "Di perkotaan ataupun di perdesaan, rokok berada di urutan kedua sebagai penyumbang terbesar garis kemiskinan," ujar Suryamin.

Sedangkan, komoditas yang memberi sumbangan terbesar pertama terhadap garis kemiskinan adalah beras. Kontribusinya mencapai 22,10 persen.

Suryamin mengatakan, konsumsi rokok membuat banyak orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan sehingga dianggap sebagai penduduk miskin. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Sedangkan GKBM dihitung dengan pemenuhan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

"Kalau saja tidak merokok, mungkin seseorang bisa memenuhi kebutuhan 2100 kalori per hari sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan," ujar dia.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengakui, menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, serta tingkat ketimpangan bukan perkara mudah. "Butuh konsistensi dalam kebijakan fiskal dan juga waktu yang tidak singkat," kata Suahasil, di kantor Kementerian Keuangan, Senin (4/1).

Pemerintah, kata Suahasil, sudah mendesain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi lebih produktif. Subsidi-subsidi yang tidak tepat sasaran dipangkas dan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Menurut Suahasil, pengalihan subsidi ke belanja produktif akan terus dilakukan. "Jangan sampai tahun kemarin gencar melakukan pembangunan lalu kemudian berhenti. Konsistensi perlu untuk menimbulkan konfidensi dari dunia usaha," ucapnya.

Suahasil mengatakan, kepercayaan dari dunia usaha menjadi elemen penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran, hingga ketimpangan pendapatan. Kalau lapangan pekerjaan banyak, maka pendapatan masyarakat juga meningkat. Efeknya, angka kemiskinan bisa menurun.

Dia menambahkan, kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah salah satunya memang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Menurut dia, dana desa yang anggarannya naik dua kali lipat dalam APBN 2016 bisa membantu mengurangi kemiskinan warga perdesaan.

Apalagi, ujarnya, dana desa yang sejatinya digunakan untuk membangun infrastruktur desa wajib dilakukan secara swadaya. Masyarakat desa setempat harus ikut serta dalam pembangunan infrastruktur di desanya. "Dengan skema itu, masyarakat desa akan punya pendapatan tambahan sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan," ujarnya.

Selain mengucurkan dana desa, pemerintah dalam APBN 2016 juga telah menambah sasaran penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 6 juta rumah tangga sasaran (RTS) dari sebelumnya 3 juta RTS pada 2015. "Sejak 2007, penerima bantuan PKH sebanyak 3 juta. Tapi, tahun ini kita naikkan dua kali lipat," ucap dia.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia salah satunya disebabkan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan membuat penduduk yang tadinya berada dalam kelompok rentan miskin akhirnya tergelincir ke dalam kategori miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal.

Pemerintah, kata Enny, harus benar-benar bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok. Selain itu, pemerintah juga harus menciptakan lapangan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang masuk dalam kategori miskin. "Kalau pendapatan penduduk miskin tidak meningkat tapi harga justru naik, mereka yang rentan miskin akan menjadi miskin," ucap Enny. ed: ichsan emrald alamsyah

***

Data Kemiskinan

-Jumlah Penduduk Miskin September 2015: 28,51 juta (11,13 persen). Naik 780 ribu jiwa terhadap September 2014.

-Target angka kemiskinan APBN 2016: 9-10 persen

-Penduduk Miskin Perkotaan: 10,62 juta (8,22 persen)

-Penduduk Miskin Perdesaan: 17,89 juta (14,09 persen)

Perkembangan jumlah penduduk miskin

-2009: 32,53 juta

-2010: 31,02 juta

-Maret 2011: 30,12 juta

-September 2011: 30,01 juta

-Maret 2012: 29,25 juta

-September 2012: 28,71 juta

-Maret 2013: 28,17 juta

-September 2013: 28,60 juta

-Maret 2014: 28,28 juta

-September 2014: 27,73 juta

-Maret 2015: 28,59 juta

-September 2015: 28,51 juta

Sumber: BPS

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement