JAKARTA - Tindakan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto menuding calon presiden Prabowo Subianto sebagai dalang penculikan aktivis pada 1998 memicu keretakan di kalangan purnawirawan TNI. Selepas manuver tersebut, sejumlah purnawirawan TNI saling melontarkan tudingan.
Pada Sabtu (21/6), puluhan purnawirawan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menyatakan secara publik kegeraman terhadap tindakan Wiranto yang juga anggota tim sukses pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) tersebut. Mereka meminta Wiranto mengembalikan wing Kopassus terkait tudingan yang ia lontarkan terhadap Prabowo.
Perwakilan puluhan purnawirawan Kopassus tersebut, Kolonel (Purn) Ruby mengatakan merasa tersinggung dengan manuver Wiranto. Menurutnya, yang diungkapkan Wiranto berpotensi mengadu domba dan memecah belah. "Kami, purnawirawan, tersinggung oleh Wiranto. Dia cuma bisa mengadu domba dan memecah belah," ujar Ruby.
Pernyataan Wiranto, menurutnya, mendorong ia dan sejumlah purnawirawan menjatuhkan dukungan untuk Prabowo. Lebih jauh, Ruby mengatakan, pernyataan Wiranto membuat para prajurit di tingkat akar rumput memanas.
Wiranto mengeluarkan pernyataan terkait rekam jejak Prabowo di Jakarta, Kamis (19/6). Dalam jumpa pers tersebut, Wiranto mengatakan, sebagai panglima tak pernah memerintahkan penculikan mahasiswa pada 1998 pada Prabowo yang ketika itu menjabat sebagai panglima komando strategi AD (pangkostrad). Ia juga menegaskan, Prabowo diberhentikan dari ketentaraan atas indikasi penculikan tersebut.
Di lain pihak, purnawirawan yang bergabung ke kubu Jokowi-JK, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, menilai, ancaman pencabutan anggota kehormatan Wiranto oleh sejumlah mantan Kopassus adalah rekayasa. "Itu kan rekayasa orang-orang yang coba-coba melempar isu," kata dia. Ia mengatakan, para purnawirawan di kubu Jokowi-JK tak perlu menanggapi ancaman tersebut.
Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya tak menyangkal ada perpecahan di antara purnawirawan TNI. Menurut Fuad, TNI memaklumi pengubuan tersebut karena faktanya purnawirawan ialah mantan prajurit TNI dan tidak lagi terikat dengan kedinasan.
Ia juga menegaskan, TNI tidak akan terpengaruh oleh adanya polemik tersebut. "Kita tidak ada urusan dengan purnawirawan," kata dia, Ahad (22/6).
Hak pilih
Sementara itu, menguatnya rivalitas antarpurnawirawan belakangan menimbulkan skeptisme soal pengembalian hak pilih bagi TNI. Peneliti utama LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, menyebutkan, dirinya pada awal reformasi mendukung penggunaan hak pilih bagi prajurit TNI dan personel Polri. Namun kini, ia berbalik arah melihat ulah para purnawirawan.
"Jangankan hal prajurit TNI bisa menggunakan hak pilihnya, ada mantan prajurit TNI saja menjadi calon presiden sudah menimbulkan masalah besar. Saya jadi ragu, meski saya termasuk yang dulu mendorongnya," kata dia.
Ia menegaskan, perpecahan di antara purnawirawan sudah mencapai tahap memprihatinkan. Menurut dia, mantan panglima semestinya tak boleh dilawan bawahannya secara terbuka, dan rahasia negara juga harus dipegang teguh. "Saya sebagai pengajar di institut negara, yang mengajar TNI menjadi tentara yang profesional, sedih melihat kondisi sekarang," kata Ikrar.
TNI dan Polri mulanya direncakan boleh menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014. Kebijakan itu diundurkan ke 2019 untuk menghindari konflik internal, menjaga netralitas institusi negara itu pada Pemilu 2014, serta mendorong percepatan regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI dan Polri.
Mantan Kaster Panglima TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo juga mengakui, sejumlah purnawirawan TNI telah mempertontonkan hal yang tak pantas. Kendati demikian, Widjojo tetap mendorong penggunaan hak pilih TNI pada Pemilu 2019 karena militer 1955 sudah menggunakan hak pilihnya.
"Kita tak perlu takut maju karena langkah maju sudah diambil sebelumnya dengan menghapus dwifungsi ABRI. Yang perlu ditekankan dan diperjuangkan adalah insitusi TNI profesional dan nonpartisan, namun prajurit TNI mempunyai hak pilih pada pemilu," kata dia.
rep:wahyu syahputra/c75/antara ed: fitriyan zamzami