Senin 07 Jul 2014 12:00 WIB

Menang tak Usah Sesumbar, Kalah tak Usah Ngamuk

Red:

Debu mengepul di tengah panas terik Jalan Slamet Riyadi, Solo, akhir pekan lalu. Sepeda motor dan mobil berseliweran. Di ruas jalanan kota yang lain, becak berlari tertatih di pinggir. Tubuh pengayuh "kereta beroda tiga" yang kebanyakan berusia mulai renta bergoyang-goyang  keletihan.

Sekilas, suasana keseharian Kota Solo memang terkesan masih serbapelan atau slow, layaknya irama lagu keroncong. Di sudut kota yang lain, di bawah rindang pohon di sebuah taman kota, yakni Monumen Banjarsari, banyak ditemui orang duduk bergerombol sembari bicara ngalor-ngidul. Di situ, juga terlihat beberapa becak "bobok siang" di bawah rindang pepohonan,

Kesan kota yang teduh tampak pula di bagian kaca belakang bus Transsolo yang saat itu tengah menyusuri jalanan utama kota itu. Di sana, tertampang tulisan seruan untuk menjaga jiwa agar jauh dari sikap senewen. Isi imbauannya sederhana sekaligus lucu:Sumuk hawane, Tetep adem sirahe, Slow wae Mas Bro (Panas hawanya, tetap dingin kepalanya, slow saja Mas Bro). Bila kebetulan berada di belakang bus itu maka tulisan itu tampak sangat jelas dibaca. Isi pesan ini sejalan dengan petitah leluhur orang jawa bahwa "sabar itu subur" atau wani ngalah luhur wekasane (berani mengalah maka akan mendapat keluhuran kemudian hari).

Namun, apakah di kota yang menjadi pusat budaya Jawa itu tidak tersimpan permasalahan serius di alam bawah sadar warganya? Jawabnya, ''Ya jelas ada!'' Seorang petugas keamanan di Solo menceritakan, betapa kotanya dalam waktu belakangan ini tak aman lagi. Entah mengapa porsi kejahatan di kota ini meningkat drastis. Bahkan, Kota Solo mulai menjadi pusat bisnis jaringan narkoba di Jawa Tengah.

''Data terakhir ini mengejutkan dalam beberapa tahun terakhir. Apakah ini akibat Kota Solo berubah menjadi kota industri. Di pinggiran kota ini kini berdiri banyak pabrik,'' kata seorang polisi yang enggan menyebutkan namanya itu. Pernyataan ini sesuai dengan sikap BNN Solo April 2014 yang menyatakan Solo menduduki peringkat pertama kasus kejahatan narkoba. Dan, pada 2013 data juga menunjukan bahwa Solo menduduki peringkat kedua kejahatan pencurian dengan kekerasan (curas) se-Jawa Tengah.

Lalu, bagaimana dengan suasana Solo dalam pilpres kali ini? Jelas jawabnya, sangat terasa sangat tidak slow! Pada kampanye pilpres, suasana persaingan akan langsung terasa. Bila masuk Kota Solo dari arah Yogya maka bertaburanlah berbagai spanduk dukungan, terutama yang ditujukan kepada pasangan calon Jokowi-Jusuf Kalla. Aneka spanduk yang dipasang di kanan kiri jalan itu isinya beragam. Pesannya kebanyakan berupa ucapan dukungan pilpres biasa hingga anggapan Jokowi sebagai satria piningit. Bahkan, di depan Pasar Nitiharjo terpampang tulisan mengagetkan: Demi JOKOWI-JK MATIpun Relawan SIAP.

''Semua tahu kan Mas, Solo adalah kota 'sumbu pendek','' kata Rahmat, warga Pasar Kliwon. Dia menceritakan, betapa rusuhnya suasana kota ini ketika terjadi pergantian rezim pada 1998. Menurut dia, entah mengapa dan entah siapa pula yang melakukannya, tiba-tiba Solo yang sehari-hari slow menjadi bergejolak dan penuh amarah berupa kebakaran yang meluas. Menurut dia, pada awal dekade 80-an, suasana yang rusuh juga terjadi di Solo. Saat itu, isunya bukan soal politik, yakni kasus konflik rasial antiorang Cina.

Sembari berkata seperti itu, Rahmat kemudian mengatakan, ''Saya ingin pilpres ini cepat berakhir. Sing menang ora usah umuk, sing kalah ora usah ngamuk (yang menang tak usah sesumbar, yang kalah tak usah ngamuk)! '' rep:muhammad subarkah ed: muhammad fakhruddin

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement