Menjelang hari pencoblosan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, 9 Juli lalu, laman media sosial laiknya medan perang. Mulai dari status di Facebook hingga kicauan di Twitter jadi ajang masing-masing pendukung pasangan capres-cawapres menyampaikan serangan dan pembelaan, kampanye negatif dan konter-kampanye negatif, tak jarang juga hinaan dan fitnah.
Selain saling serang dan saling tangkis, netizen juga semacam dihinggapi gairah untuk memilih. Para praktisi golongan putih (golput), baik yang ideologis maupun sekadar apatis, mengumumkan langkah mereka mendaftar untuk mendapatkan hak pilih di KPU setempat. Para perantau memamerkan keberhasilan mendapat surat pindah tempat pemungutan suara (TPS), lainnya mem-posting langkah-langkah untuk mendapatkan hak pilih.
Foto:/Rakhmawaty La'lang/Republika
Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014 di TPS 05 Kelurahan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, sabtu (19/7).
Kemudian, datang tanggal 9 Juli di tengah Ramadhan dan perhelatan Piala Dunia 2014. Hari selesai, dan surat suara dihitung. Terlepas condong ke mana pilihan dalam surat suara tersebut, satu hal sudah disimpulkan berbagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah. Ternyata keriuhan pada media sosial tak menular ke TPS.
Dibandingkan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 yang cenderung lebih sepi pada media sosial, partisipasi pada Pilpres 2014 di sejumlah daerah ternyata lebih rendah. Di Banten, pemilih yang menyambangi TPS persentasenya sebanyak 68 persen dari total yang terdaftar. Jumlah ini menurun dari pemilih Pileg 2014 yang mencapai 71 persen dari pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Muarojambi, Jambi. Jumlah pemilih yang datang ke TPS pada pencoblosan pilpres di daerah itu sebanyak 71 persen dari totoal pemilih terdaftar. Angkat tersebut sepertinya tinggi, namun jauh di bawah partisipasi pada Pileg 2014 yang mencapai 78,25 persen.
Sementara, KPU Provinsi Jawa Barat melaporkan tingkat partisipasi pilpres terdata 70,93 persen. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan pileg yang mencapai 73 persen. Partisipasi pemilih di Provinsi Sulawesi Tenggara pada pilpres juga anjlok menjadi 60 persen dari jumlah 72 persen pada Pileg 2014. Di Riau, partisipasi juga berkisar pada angka 62 persen menurun dari 70 persen pada pileg.
Ketua KPU Banten Agus Supriyatna menyatakan, tak habis pikir dengan penurunan partisipasi di wilayah kerjanya. Ia mengakui, KPU juga terpedaya dengan keriuhan menjelang pencoblosan. "Tadinya kami melihat angka partisipasi pada pilpres ini akan lebih tinggi dibanding pileg karena melihat antusiasme masyarakat. Namun kenyataannya, saat pelaksanaan tidak sesuai harapan," kata Agus Supriyatna, Ahad (20/7).
Sedangkan, Komisioner KPU Muarojambi Sudirman menilai, ada beberapa faktor penting yang memicu kurangnya partisipasi masyarakat pada pilpres kali ini. Di antaranya, mesin parpol dari tim kampanye masing-masing calon yang tak bergerak menjaring pemilih di daerahnya.
Ketua KPU Riau Nurhamin menuturkan, penurunan partisipasi pada Pilpres 2014 terjadi secara merata seantero Riau. Penyebab menurunnya partisipasi, menurutnya, adalah perbedaan daya tarik antara pileg maupun pilpres.
Ia berpendapat, pada pileg ada hubungan langsung antara pemilih dan yang dipilih. "Berbeda dengan pilpres, di mana yang akan dipilih tidak menyentuh langsung kepada masyarakat," ujar dia.
Selain hal tersebut, lanjutnya, faktor geografis seperti jarak, juga bisa menjadi indikator rendahnya partisipasi pemilih pada saat pemungutan suara pilpres. Banyak wilayah terutama daerah pelosok ataupun antardesa di Riau yang jarak rumah warga satu sama lain sangat berjauhan. Hal itu dinilai menyulitkan untuk melakukan pencoblosan.
Di pihak lain, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, berpandangan sepinya pemilih tak semata akibat kurangnya niat masyarakat menyalurkan hak. "Jumlah warga yang tidak terdata dalam DPT tersebut mencapai belasan ribu jiwa," kata Ketua Panwaslu Kabupaten Sukabumi Suhermat.
Menurut Suhermat, dengan banyaknya warga yang tidak tercantum dalam DPT tersebut bisa menyebabkan angka partipasi masyarakat menurun. Beruntung, untuk kasus Sukabumi banyak warga tak terdaftar yang masih peduli dan tetap menggunakan hak pilihnya. antara ed:fitrian zamzami