JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat menyoroti teknologi informasi (IT) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang rawan diretas. KPU dinilai mengabaikan keamanan IT-nya.
Anggota Komisi II DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto, menyatakan, sudah sejak lama IT KPU menjadi sorotan. "Anehnya, tidak ada pembenahan serius," kata Yandri, Kamis (24/7).
Menurutnya, Komisi II DPR sudah sering mengimbau KPU untuk segera membenahi infrastruktur IT. Tujuannya, kata dia, agar penyelenggaraan pemilu benar-benar menjadi bukti bahwa demokrasi berjalan dengan baik.
Namun kenyataannya, kata dia, IT KPU masih rawan diretas. "Ini memprihatinkan," tambahnya.
Hal ini, kata dia, menjadi pertanda KPU mengabaikan sistemnya sendiri. Sehingga, ujarnya, berdampak kepada kualitas demokrasi di Indonesia.
Komisioner KPU Sigit Pamungkas mengakui, banyak peretas (hacker) yang berusaha meretas sistem dan website KPU. Mulai dari pemilu legislatif (pileg) hingga pemilihan presiden (pilpres). "Memang ada hacker yang mau masuk ke sistem KPU, tapi dia tidak bisa mengotak-atik sistem kami dan tidak berdampak pada hasil rekapitulasi," kata Sigit.
Sejak pileg hingga pilpres, menurutnya, jumlah peretas yang berusaha menyerang sistem KPU berjumlah ribuan. Dari penelusuran alamat IP Adress-nya, kata Sigit, para peretas itu berasal dari banyak negara.
Namun, Sigit mengklaim, dari ribuan peretas itu belum pernah satu kali pun sistem KPU berhasil diretas. "Mereka berusaha mengubah gambar, merusak sistem, dan upaya meretas lain. Tapi, hanya berupaya saja, belum ada yang berhasil," jelasnya.
Sigit memastikan tidak ada pengubahan data yang disengaja untuk keuntungan pihak tertentu selama tahapan Pilpres 2014. Dia menyangkal ada peretas yang melakukan upaya pengubahan suara pilpres. "Tidak mungkin ada hacker yang mampu mengubah hasil pemilu," kata Sigit.
Penggelembungan dan manipulasi penghitungan suara, menurut Sigit, tidak mungkin dilakukan peretas melalui sistem KPU. Karena rekapitulasi hasil penghitungan suara berlangsung manual, berjenjang, dan dikontrol saksi kedua pasangan capres.
Selain itu, kata dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga selalu mengawasi tahapan sekapitulasi yang berlangsung di setiap tingkatan. "Kecuali jika pasangan calon tidak percaya kepada saksinya sendiri. Semua rekapitulasi kan diawasi oleh saksi kedua pasangan calon," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Tim Koalisi Merah Putih Perjuangan untuk Kebenaran dan Keadilan Letjen (Purn) Yunus Yosfiah menyebutkan adanya 37 hacker asal Korea dan Cina yang menggelembungkan suara golput. "Sekitar 4 juta suara dimanipulasi," katanya.
Para hackers itu, kata dia, memanipulasi penggelembungan suara golput di beberapa kecamatan di Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Utara.
Kasus itu, ia menambahkan, dalam penanganan Bareskrim Polri. "Sekarang sedang dilaporkan ke Bawaslu," katanya.
Hal itu juga yang menjadi pertimbangan untuk menarik diri pasangan Prabowo-Hatta dalam tahapan rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedutaan Besar Korea untuk Indonesia membantah adanya keterlibatan warga Korea sebagai peretas untuk menggelembungkan suara pada Pilpres 2014. "Kedutaan Besar Korea membantah sepenuhnya dugaan keterlibatan warga negara Korea dalam kasus tersebut," kata rilis Korean Cultural Center Indonesia melalui stafnya I Gusti Ngurah Alit, di Jakarta, Rabu (23/7). rep:erdy nasrul/ira sasmita ed:muhammad fakhrudin