oleh:Endro Yuwanto -- "Jangan keluar malam sendirian, jangan mengeluarkan ponsel saat orang di jalan menanyakan waktu, jangan memperlihatkan diri sebagai orang asing dengan sering bertanya alamat di jalan, dan pura-puralah sudah mengenal wilayah Brasil."
Bukan sekali ini saya menerima pesan seperti itu dari warga Sao Paulo. Setiap berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang baru di Sao Paulo, mereka selalu memberi pesan yang nyaris sama. Kadang pesan itu diulang beberapa kali demi mengingatkan saya tentang tidak begitu amannya wilayah Sao Paulo dan juga wilayah-wilayah lainnya di Brasil. "Harus tetap waspada, tapi jangan terlalu paranoid," kata Fabio Lopes Cabral (29 tahun), seorang karyawan perusahaan diving PADI, tetangga di penginapan saya di Diadema Sao Paulo.
Kesan "menyeramkan" sebenarnya sudah terasa saat sopir taksi yang membawa saya dari bandara Guarulhos ke penginapan tampak khawatir ketika hendak kembali bandara, Ahad (8/6) . Sang sopir mengaku baru sekali ini ia membawa penumpang ke Diadema. Ia biasanya hanya berkeliling seputar kota Sao Paulo, tak sampai sejauh Diadema yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota.
Sang sopir sampai harus bertanya kepada Miguel, pemilik penginapan, mengenai jalan teraman untuk kembali ke bandara. Diadema memang dikenal sebagai salah satu kantong permukiman kumuh (favela) dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Apalagi, saat itu pun sudah hampir tengah malam sekitar pukul 23.00.
Kesan tak aman semakin terasa ketika pasangan suami istri, Alex dan Erivia, yang merupakan saudara Miguel, mengantar saya ke terminal Jabaquara sekitar pukul 22.00 keesokan harinya. Saya meminta tolong mereka untuk menunjukkan terminal kereta bawah tanah (subway) metropolitano untuk menuju ke Stadion Arena Corinthians. Terminal sudah tampak sepi. Mungkin karena belum dibuka setelah pekerja metro mogok beberapa hari sebelumnya atau mungkin malam sudah mulai larut. Hanya ada beberapa anak muda bergerombol di sudut terminal.
Di depan terminal, saya tergerak mengambil gambar gerbang terminal dengan kamera ponsel. Tiba-tiba Alex berteriak, "Jangan ambil foto." Sementara, Erivia tampak pucat. Saya buru-buru menyimpan lagi ponsel di saku celana. Saat pulang, Alex berpesan sebaiknya tak mengambil gambar di terminal, apalagi pada malam hari. "Itu menarik perhatian pencuri karena bisa jadi tanda si pengambil gambar adalah orang asing," dia mengingatkan.
Pengalaman ketiga yang menunjukkan kurang amannya Sao Paulo adalah saat saya berkunjung ke Fanfest FIFA, pusat lokasi nonton bareng para suporter di taman kota di Anhangbau, Kamis (12/6). Di depan panggung utama Fanfest yang memajang layar raksasa, saya berniat mengambil gambar.
Karena ribet menggendong tas, saya pun meletakkannya ke bawah. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang pria berbaju merah yang mengenakan ransel hitam menyerobot dan hendak mengambil tas saya. Buru-buru saya berteriak, "Hei!" Mungkin sadar saya paham gelagat dia, pria itu buru-buru bergegas menjauh meninggalkan taman. Padahal, tak jauh dari tempat itu sekitar 50 meter puluhan polisi tampak berjaga jaga. Namun, suasana di Fanfest memang sangat ramai dan sulit mengawasi satu persatu orang yang lalu-lalang.
Miguel pernah mengatakan bahwa Sao Paulo merupakan kota terbesar dan terpadat di Brasil, bahkan di Amerika Selatan sekaligus yang paling beragam dengan penduduknya berasal dari sekitar 100 suku berbeda. Namun, kota ini memiliki angka kriminalitas terburuk di antara kota lainnya di Brasil. "Tingkat pengangguran di sini juga tinggi," kata dia.
Ini menjelaskan kepada saya mengapa dengan mudah saya menemukan beberapa pria di pusat kota seperti di wilayah Se', Anhangbau, Paulista, dan Republica membentangkan tulisan yang kurang lebih berarti "Butuh pekerjaan". Selama perhelatan Piala Dunia 2014, saya pun dengan gampang menjumpai gelandangan yang tidur di taman atau halte bus.
Mungkin kondisi ini pula yang bisa menjelaskan saya mengapa unjuk rasa masih tetap berlangsung hingga menjelang pembukaan Piala Dunia di Arena Corinthians, Kamis. Sekitar 100-an pengunjuk rasa terlihat berusaha berbaris sedekat mungkin ke stadion, di mana tim nasional Brasil berlaga melawan Kroasia pada pukul 17.00 pada laga pembuka. Polisi terpaksa membubarkan para demonstran dengan gas air mata setelah sebelumnya para demonstran sempat melemparkan batu dan membakar sampah.
Isi protes para demonstran tak berubah seperti beberapa bulan sebelumnya. Mereka kecewa mengapa pemerintah mengeluarkan dana berlebihan hingga sekitar Rp 140 triliun untuk Piala Dunia, padahal prioritas pembangunan lainnya jauh lebih penting. Para pengecam pemerintah ini mengatakan, dana Piala Dunia itu seharusnya dibelanjakan untuk perbaikan layanan publik, seperti dalam bidang keamanan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi yang masih kurang memadai di Brasil.
Protes boleh berlanjut, tapi sebagian warga Brasil memilih tak ambil peduli. Laga perdana antara Brasil vs Kroasia pun dijubeli warga Sao Paulo dan sekitarnya. Di stadion, di Fanfest, dan di rumah-rumah, warga Brasil tetap berpesta dengan menyalakan kembang api dan meniup terompet. Apalagi setelah tim nasional Brasil unggul 3-1 atas Kroasia. Mereka memilih tetap berpesta dan sejenak melupakan segala persoalan hidup yang ada di depan mata.