oleh: Endro Yuwanto(Rio de Janeiro) -- Menjejakkan kaki di Rio de Janeiro, memandang ke arah barat dari patung raksasa Yesus di puncak bukit yang menaungi seluruh kota, saya bisa melihat bangunan paling terkenal di Brasil: Stadion Maracana. Bila kita dari jalanan menatap fondasi lingkaran bajanya, Maracana tidak terlihat mampu menampung lebih dari 200 ribu penonton—jumlah yang sebenarnya terjadi di final Piala Dunia 1950, penonton terbanyak yang pernah ada untuk sebuah pertandingan sepak bola.
Maracana bahkan tidak menjulang tinggi melampaui bangunan-bangunan lingkungan kelas menengah di sekitarnya. Namun dari udara, terasa sekali kebesaran Stadion Maracana. Stadion ini seperti lubang raksasa di permukaan tanah, yang punya pojok-pojok tiada habisnya tempat para penonton bisa dijejalkan.
Maracana ibarat katedral penuh dengan berbagai kenangan kisah kepahlawanan, martir, dan santo perlindungannya: Pele. Di sinilah Pele mencetak gol ke-1000-nya pada 19 November 1969. Di sini jugalah pada 1961 Pele mencetak "gol terindah yang pernah ada" sebagaimana tertulis pada plakat di pintu masuk stadion.
Mengambil bola di depan kiper setimnya, Pele melintas menerjang lapangan. Tanpa mengoper, tetapi banyak melakukan gerak tipu seolah-olah hendak mengoper, ia melewati enam pemain belakang lawan. Bola tidak pernah meninggalkan kakinya sampai akhirnya ia sarangkan ke gawang lawan. Peristiwa itu tidak terekam dalam film, hanya dalam kisah-kisah rakyat dan kenangan yang kian memudar.
Begitu kuat daya pikat Maracana dengan masa lampaunya yang diagung-agungkan, Maracana menyediakan segala perasaan yang diharapkan oleh setiap penggemar sepak bola. Termasuk sebuah luka yang tak pernah mengering, luka yang selalu menganga bagi warga Brasil: Tragedi Maracana atau Maracanazo.
Sebelum berhadapan dengan Uruguay di final Piala Dunia 1950, Brasil telah menuai dua kemenangan telak yakni melumat Swedia 7-1 dan menghancurkan Spanyol 6-1. Sedangkan Uruguay, pada dua pertandingan pertama hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan Spanyol dan menang tipis 3-2 atas Swedia. Pada dua pertandingan itu pun Uruguay lebih dulu tertinggal dari kedua lawannya.
Ketika itu publik Brasil sangat yakin bahwa tim nasionalnya akan muncul sebagai juara baru. Bukan saja karena sekadar butuh imbang, tetapi juga kekuatan Brasil saat itu luar biasa. Namun, harapan 200 ribuan penonton yang memadati Maracana dan jutaan rakyat Brasil lainnya pupus.
Kedudukan 1-1 hingga 12 menit sebelum pertandingan usai. Rakyat Brasil masih percaya timnya akan juara. Tetapi, pada menit ke-79, Alcides Edgardo Ghiggia berlari mengiris wilayah kiri pertahanan Brasil dan langsung menceploskan bola melalui sudut sempit gawang yang dikawal kiper Moacyr Barbosa Nascimento. Uruguay unggul 2-1 dan menjadi jadi juara dunia untuk kedua kali.
Mengenang Maracanazo, setiap televisi menyiarkan ulang tragedi itu, ada gambar para penonton yang menangis di tengah padatnya stadion. Gambar-gambar itu selalu diulang di Brasil setiap 18 Juli.
Namun, bermula dari tragedi Maracanazo pula sepak bola sebagai budaya lahir di Brasil. Tragedi final Piala Dunia 1950 di Maracana menjadi cambuk yang memaksa Brasil untuk membuktikan kekuatan mereka yang sebenarnya dalam sepak bola dunia.
Prestasi Brasil di Piala Dunia berikutnya membuktikan betapa kerja keras berbuah hasil signifikan. Setelah tersingkir pada perempat final Piala Dunia 1954 Swiss, Brasil menjuarai dua perhelatan berikutnya, yakni Swedia 1958 dan Cile 1962. Diselingi satu kegagalan di Inggris 1966, Brasil tampil lagi sebagai juara di Meksiko 1970. Brasil kini menjadi satu-satunya negara yang telah lima kali menjadi juara dunia. Skuat Samba menjadi yang terbaik pada pesta sepak bola di Amerika Serikat 1994 dan Korea Selatan-Jepang 2002.
Stadion Maracana juga menjadi kuburan paling sempurna bagi sepak bola Spanyol. Tak sekali "batu nisan" untuk tim nasional Spanyol terpahat di sana. Piala Dunia 1950 mengawali mimpi buruk Spanyol saat menelan kekalahan terbesar sepanjang sejarah La Furia Roja di Piala Dunia. Melawan tuan rumah Brasil, Spanyol kalah telak 1-6.
Selang 63 tahun kemudian, Spanyol kembali bermain di Maracana dalam partai puncak Piala Konfederasi 2013. Lagi-lagi Brasil menciptakan mimpi buruk Spanyol setelah menang tiga gol tanpa balas yang disebut-sebut sebagai awal berakhirnya era tiki-taka Spanyol.
Di Piala Dunia 2014 kali ini, Spanyol kembali merasakan kegetiran dari Maracana. Bekal juara Piala Eropa 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010 tak cukup. Saat memainkan laga hidup-mati di fase grup melawan Cile, La Furia Roja justru takluk 0-2. Di laga perdana, Spanyol juga menyerah 1-5 dari Belanda.
Saya pun percaya, cerita Maracana pada Piala Dunia 2014 tak berhenti sampai di tim nasional Spanyol. Masih ada laga final di Stadion Maracana pada 13 Juli nanti. Maracana tetap akan menyajikan cerita yang seakan tak berujung. Seperti novel yang selalu bersambung.