oleh:Endro Yuwanto -- "Saya akan satu bulan tinggal di Rio de Janeiro, sampai partai final di Stadion Maracana. Setelah itu, saya akan keliling Amerika Latin, ke Cile, Peru, Bolivia, dan lainnya," ujar seorang pria asal Indonesia yang saya temui usai shalat Jumat di Masjid Al Nur, Rua Gonzaga Bastos 77, Andarai Tijuca.
Sama seperti orang-orang Indonesia yang pertama kali saya jumpai di Rio de Janeiro, pria bernama Nasangga Siregar (31 tahun) itu juga sangat senang bisa bersua dengan orang Indonesia. Selama dua pekan tinggal di Rio de Janeiro, ia sangat jarang bertemu orang senegara. Pekan lalu, di tempat yang sama, ia mengaku bertemu sejumlah jurnalis dari salah satu televisi swasta Indonesia.
"Saya juga bertemu Pak Wahyu Pamungkas yang selalu shalat di sini dan sudah lama bekerja di kota ini. Saya juga sudah mampir ke apartemennya yang nyaman," Nasangga terus berceloteh. Agaknya, ia memang suka berbicara.
Awalnya, saya mengira, Nasangga juga seorang jurnalis seperti saya. Tapi, ia langsung menyanggahnya, "Bukan, saya bukan dari media manapun. Saya ke Brasil khusus buat nonton Piala Dunia," katanya.
Pria jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2006 ini berniat nonton bareng bersama kekasih dan temannya dari kampung halamannya, Medan, Sumatra Utara. Tapi, dua hari menjelang keberangkatan ke Rio de Janeiro, rencana itu berantakan. Padahal, sudah sejak tahun lalu mereka merencanakan untuk bersama-sama menyaksikan pertandingan Piala Dunia 2014 secara langsung dalam Stasion Maracana. "Jadilah saya sendirian di Rio de Janeiro," ucapnya.
Yang lebih mengesalkan, kata Nasangga, jauh-jauh hari sebenarnya ia sudah memesan penginapan secara online di wilayah Laranjeiras dengan tarif cuma 10 dolar AS atau sekitar 110 ribu per malam. Tapi, seminggu menjelang keberangkatan ke Rio de Janeiro, pihak penginapan menaikkan harga menjadi 100 dolar AS per malam karena penginapan makin banyak peminat. Jika tidak bersedia, maka booking penginapannya dianggap hangus. "Terpaksa, saya pindah penginapan walaupun uang muka sudah telanjur saya transfer," ujarnya.
Nasangga lantas memilih tinggal di penginapan di wilayah Cinelandia, Lapa, dengan tarif yang lebih murah, kurang dari 100 dolar per malam. Penggemar klub PSMS Medan ini mengaku, tak merasa kesepian meski tinggal jauh sendirian di negeri orang. "Saya berbaur saja dengan orang-orang di penginapan yang sebagian dari Amerika Serikat, negara Eropa, dan lainnya. Hanya saya satu-satunya orang Indonesia di wilayah itu," jelasnya.
Nasangga yang saat itu mengenakan kaus kasual, celana pendek selutut, dan sandal jepit, plus tas pinggang yang tak terlalu besar, bahkan mengaku beberapa kali disangka sebagai orang Brasil. "Hahaha suka ditanya ini itu, padahal saya tak bisa bahasa Portugis," gelak tawanya terdengar ringan.
Saya tak terlalu menanggapi soal bagaimana Nasangga menjalani hidup selama sebulan di Rio de Janeiro. Karena, pengalaman saya sebenarnya tak jauh berbeda dengannya selama tinggal di bekas ibu kota Brasil itu. Yang membuat saya masih penasaran adalah bagaimana ia akan melancong keliling negara-negara di Amerika Latin. "Bagaimana urus visanya?" tanya saya.
Ternyata, Nasangga memiliki paspor Amerika Serikat (AS). Entah bagaimana caranya, ia tak bercerita soal paspornya. Ia hanya mengaku pernah bekerja selama hampir enam tahun di Negeri Paman Sam. Ia tinggal di Kalifornia saat bekerja di lembaga yang mengawasi radar. Dan, terakhir bekerja di salah satu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). "Saya sudah berhenti bekerja sejak beberapa bulan lalu. Saya muak karena sebagian sumbangan dana untuk lembaga itu buat menggaji ekspatriatnya. Gaji mereka ‘gila’, bisa ratusan ribu dolar AS," ucapnya.
Jadilah Nasangga seperti saat ini, menggelandang hingga ke Rio de Janeiro. "Saya belum ingin pulang kampung, saya mau menghabiskan sisa gaji saya dulu," kelakarnya.
Lantaran lama tinggal di AS, Nasangga pun kini mendukung tim nasional AS di Piala Dunia 2014. Tak heran, beberapa hari lalu ia berbaur dengan para suporter AS yang nonton bareng di FIFA Fanfest di Pantai Copacabana. "Amerika sebenarnya sepak bolanya bagus, tapi di dunia banyak yang masih meremehkan mereka," ujarnya. "Padahal, di AS popularitas sepak bola sudah mulai menggeser basket dan baseball. Mereka kali ini sangat serius. Lihat saja nanti."
Hari beranjak sore, kami pun berjalan meninggalkan Al Nur untuk menumpang kereta bawah tanah. Di perjalanan, saya kembali bertanya apakah ia punya akun Facebook atau Twitter. Ia tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Telepon seluler pun saya tak bawa, hanya tablet yang mengandalkan jaringan wifi untuk akses internet," katanya.
Lantas, bagaimana Nasangga berkomunikasi dengan keluarganya, terutama orang tuanya di kampung halaman? "Saya hanya mengandalkan e-mail dan mengirim kartu pos di manapun kota yang sudah saya kunjungi," ujarnya.
Ibunda Nasangga sudah berkali-kali menanyakan kapan putranya balik ke Medan. Ibunya kerap bertanya apakah Lebaran nanti akan pulang kampung. Tapi, Nasangga belum bisa memastikannya. Ia mengaku setelah berkeliling Amerika Latin ia masih akan melanjutkan perjalanan ke Alaska. "Saya sudah beli tiketnya, tiket sekali jalan, entah kapan saya akan pulang, saya masih senang menggelandang.