oleh:Didi Purwadi -- Tidak ada selebrasi berlebihan ketika David Villa mengoyak gawang Australia. Begitu pula ketika Fernando Torres dan Juan Mata memperbesar keunggulan Spanyol pada laga terakhir Grup B Piala Dunia 2014 pada Senin (23/6) lalu.
Sang pencetak gol hanya berlari kecil sambil menyambut pelukan selamat dari rekan setim. Meski tak ada selebrasi ‘liar’ seperti Arjen Robben atau Robin van Persie seusai menjebol gawang mereka, tiga gol ke jala Australia sudah cukup menjawab bahwa tiki taka tidak mati.
Sang pelatih tim lawan, Ange Postecoglou pun mengaminkan, ’Spanyol akhirnya memainkan tiki taka’.
Pertanyaan ‘apakah tiki taka telah mati?’ memang langsung mencuat ketika Spanyol ‘diterkam’ total football 1-5 di laga perdana Grup B. Pertanyaan itu semakin mengeras ketika Spanyol ‘digigit’ Cile 0-2 dan dipastikan tersingkir dari perhelatan akbar empat tahun tersebut.
‘Si Gol Tangan Tuhan’, Diego Maradona pun langsung angkat suara. ‘’Timnas Spanyol kini telah menua,’’ ujar legenda sepak bola Argentina tersebut.
Tapi, benarkah tiki taka telah mati terkubur di Maracana? Sebagai sebuah mahzab, tiki taka sesungguhnya tidak akan pernah mati. Dia terus ‘menyala’ bahkan sejak Ferenc Puskas bersama Timnas Hongaria memainkannya saat melumat Inggris --yang memainkan serangan balik cepat-- pada November 1953 dan Mei 1954.
Itu setidaknya kata kolumnis sepak bola Inggris, Colin B Robertson, yang menyebut gaya Hongaria saat itu memainkan umpan-umpan pendek cepat sama seperti gaya tiki-takanya Barcelona saat ini.
Tiki taka tidak akan pernah mati, tiki taka hanya sedang melewati takdir siklus kehidupan di mana ada fase turun-naiknya. Seperti sebuah putaran roda, tiki taka kini sedang berada di bawah. Lalu, apa yang membuatnya tersungkur di Piala Dunia 2014?
Musim kelam Barcelona
Mantan pelatih Timnas Prancis Gerard Houlier coba menelisik penyebab terpuruknya penampilan Spanyol di Brasil. Dari segi taktik, Houlier menilai tiki taka masih sangat indah dan tidak akan pernah usang.
Kualitas pemain-pemain Spanyol juga tidak perlu diragukan lagi. Namun, kata Houlier, permasalahannya terletak pada motivasi.
"Saya tak berpikir itu (tiki taka) sudah mati,’’ kata Houlier. "Seorang pelatih terkadang sangat sulit untuk mempertahankan motivasi pemain ketika Spanyol telah memenangi tiga trofi besar dan berada di atas segalanya.’’
Pemain Spanyol kehilangan motivasi setelah menjadi tim paling hebat selama enam tahun terakhir. Bukankah (motivasi) mempertahankan gelar lebih sulit ketimbang (motivasi) merebut gelar.
Periode kelam Barcelona sejak ditinggal pergi pelatih Pep Guardiola boleh jadi juga ikut memengaruhi mental pemain Barcelona yang notabene mendominasi separuh kekuatan Timnas Spanyol.
Dikenal sebagai ‘anak emas’ sekaligus penerus Johan Cryuff (peletak dasar tiki taka di Barcelona), Guardiola meninggalkan Camp Nou dengan perasaan kecewa.
Guardiola sakit hati karena presiden Sandro Rosell --yang di kemudian hari mundur karena tersandung masalah transfer Neymar-- langsung mengumumkan Tito Vilanova sebagai penggantinya pada hari sama dimana Guardiola mengumumkan pengunduran dirinya.
Konflik antara Guardiola dan petinggi Barcelona pun terus berlanjut bahkan setelah Guardiola mengasingkan diri ke ‘Negeri Paman Sam’ selama setahun sebelum menerima pinangan sebagai pelatih Bayern Muenchen.
"Saya hanya minta kepada Rosell untuk memberikan saya ketenangan dan mereka tidak memberikannya meski saya berjarak 6.000 kilometer,’’ keluh Guardiola.
Sedihnya, konflik membuat hubungan antara Guardiola dan mendiang Vilanova --asisten sekaligus sahabat yang menemani Guardiola memenangi 14 gelar selama empat tahun (2008-2012) menangani Barcelona-- ikut menjadi retak.
Guardiola dituduh tidak menjenguk Vilanova yang saat itu menjalani pengobatan di Amerika. Guardiola juga dituding mengatakan kepada ayah Neymar bahwa Vilanova tidak tahu cara memainkan Neymar dan Lionel Messi dalam satu tim.
Imbas Timnas
Musim kelam Barcelona tidak hanya diwarnai panasnya konflik antara Guardiola dan petinggi klub. Masalah patgulipat transfer Neymar dan kasus dugaan penggelapan pajak Lionel Messi juga ikut membuat kelam kondisi ruang ganti Barcelona dalam dua tahun terakhir ini.
Belum lagi keraguan apakah Neymar dan Messi bisa bermain bersama-sama dalam satu tim. Belum lagi rumor yang menyebutkan Messi ingin hengkang karena tak betah lagi berada di Camp Nou.
Semua persoalan tersebut secara tidak langsung memengaruhi psikologis pemain Barcelona. Itu setidaknya terbukti dari prestasi Barcelona yang ‘terjun bebas’ sejak ditinggal Guardiola.
Tahun pertama tanpa Guardiola, Barcelona hanya mampu mengamankan satu gelar yakni La Liga Spanyol. Tahun berikutnya Barcelona hanya bisa meraih gelar juara Piala Super Spanyol.
Keterpurukan Barcelona ini sedikit banyak berimbas pada prestasi timnas. Spanyol masih sempat mengunci juara Euro 2012 dengan melumat Italia 4-0 sehari setelah Guardiola mengundurkan diri pada 30 Juni 2012.
Timnas Spanyol pun masih mampu menjaga rekor positifnya tidak pernah kalah dalam 15 laga internasional selama setahun sejak kepergiaan Guardiola dari Barcelona. Tapi, itulah titik masalahnya.
Psikologis pemain Timnas Spanyol dari kubu Barcelona yang ‘terganggu’ lantaran mengalami musim kelam bersama klubnya, plus kejenuhan pemain Timnas Spanyol lantaran tidak ada tim lawan yang mampu menaklukkan mereka, membuat pemain Timnas Spanyol akhirnya menjadi apa yang disebut Houllier: kehilangan motivasi.
Sampai akhirnya Spanyol dikejutkan oleh Brasil tepat setahun setelah mereka mengunci gelar juara Eropa 2012. Tuan rumah Brasil menghancurkan Spanyol 3-0 di final Piala Konfederasi 2013 pada 30 Juni.
Itu merupakan kekalahan telak pertama Spanyol sejak Portugal mengalahkan mereka 4-0 di laga persahabatan pada November 2010.
Lima bulan setelah laga final Piala Konfederasi tersebut, Spanyol kembali mendapat kejutan. Kali ini Afrika Selatan yang secara tak terduga menaklukkan Spanyol 1-0 di laga persahabatan.
Dan puncaknya terjadi di Piala Dunia 2014 ini. Spanyol, yang kehilangan motivasi, tersingkir secara menyakitkan setelah menelan kekalahan dari Belanda (1-5) dan Cile (0-2).
Kondisi yang serupa terjadi ketika skuat Barcelona besutan Guardiola disingkirkan Chelsea di semifinal Liga Champions 2012.
"Itu kekalahan besar untukku,’’ kata Guardiola dikutip Football Espana. "Kami telah memenangi semuanya, 14 trofi dalam empat tahun. Sebagai sebuah tim, kemampuan kami untuk memotivasi makin lama makin terasa sulit."