Kamis 05 Jun 2014 13:00 WIB

Palu Panas Sengketa Pilkada

Rep: k/ Red:

Buat warga Maluku Utara, akhir 2007 hingga pertengahan 2008 lalu bukan kenangan indah. Saat itu, suasana tak tenang menjalar di seantero kepulauan di timur Indonesia tersebut.

Hampir setiap hari, aksi unjuk rasa yang beberapa kali berujung anarkistis mengambil tempat. Gedung-gedung dan rumah para kepala daerah setempat dibakar, korban luka pun bermunculan.

Awal mula dari situasi tak kondusif tersebut adalah pemilihan gubernur (pilgub) Maluku Utara yang digelar pada November 2007. Saat itu, yang bersaing ketat adalah pasangan calon gubernur (cagub)-calon wakil gubernur (cawagub) Thaib Armain-Gani Kasuba dan Abdul Gafur-Aburrahim Fabanyo.

Saat hasil pemungutan suara digelar oleh KPU Maluku Utara, selisih kedua pasangan tipis saja. Thaib-Gani mendapat 179.020 suara sedangkan Abdul Gafur-Fabanyo memperoleh 178.157 suara. Perhitungan itu dinilai bermasalah karena hasil penghitungan suara di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat masih disengketakan.

Pasangan Abdul Gafur-Fabanyo yang tak terima dengan hasil penghitungan mengadu ke KPU Pusat. Hasilnya, KPU memberhentikan ketua KPU Maluku Utara dan memutuskan menghitung ulang pemungutan di tiga kecamatan yang disengketakan. Hasilnya, Abdul Gafur berbalik jadi pemenang dengan perolehan 181.889 dan perolehan suara Thaib-Gani tetap pada 179.020.

Langkah KPU Pusat kala itu dinilai kontroversial dan kemudian diadukan ke Mahkamah Agung (MA). MA kembali memutuskan penghitungan ulang di tiga kecamatan. Penghitungan tersebut dilakukan bersama oleh ketua KPUD yang telah dipecat dan plt yang ditunjuk KPU Pusat. Hasil kedua perhitungan bertolak belakang.

Saat permasalahan dibawa kembali ke MA, lembaga itu memutuskan hasil perhitungan oleh ketua KPUD yang dipecat sah. MA juga menilai pengambil alihan kewenangan atas Pilgub Maluku Utara dari KPUD oleh KPU melanggar.

Kendati pada akhirnya Thaib dilantik, jalan menuju pelantikan tersebut didahului polemik yang menjalar sampai Jakarta. Fraksi-fraksi di DPR silang pendapat soal pilgub tersebut, kewenangan MA menangani sengketa juga akhirnya dipertanyakan.

Buntutnya, perubahan konstitusi diambil. Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian disesuaikan.

Pada UU Nomor 32/2004 yang kemudian menjadi UU Nomor 12/2008 tentang Pemda, istilah pilkada diganti dengan pemilukada. Artinya, sengketa soal perhelatan itu mesti ditangani oleh Mahkamah Konstitusi(MK) yang sesuai UUD 1945 memiliki kewenangan menangani sengketa pemilu. Pada 29 Oktober 2008, MA dan MK resmi menandatangani pengalihan kewenangan.

Pembatalan

Sejarah panjang soal pelimpahan kewenangan penyidangan sengketa pemilukada tersebut kemudian dibelokkan kembali oleh MK pada 19 Mei lalu. MK menyatakan aturan mengenai kewenangan lembaga itu menyidangkan sengketa pilkada tidak sesuai dengan UUD 1945.

Pada hari itu, majelis hakim MK membacakan putusan atas gugatan terhadap kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM FH Universitas Esa Unggul, Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, Joko Widiarto, dan Achmad Saifudin Firdaus.

MK menyatakan, Pasal 236 C Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Inkonstitusional. Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan, untuk menghindari adanya kevakuman serta ketidakpastian hukum pascaputusan ini, MK tetap akan menyidangkan sengketa pilkada sampai ada revisi terhadap UU tersebut.

Majelis hakim menyatakan, norma Pasal 236 C UU Pemda yang menyebutkan pengalihan hak penanganan sengketa pilkada dari MA ke MK justru mengaburkan fungsi lembaga pengawal konstitusi itu.

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan, kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum harus dikaitkan dengan makna pemilihan umum dalam UUD. Terutama Pasal 22E UUD 1945 yang secara khusus mengatur mengenai pemilihan umum.

Menurut dia, konstitusi menyatakan pemilu sebagai pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dilaksanakan lima tahun sekali. Dengan begitu, menurutnya, pilkada tak bisa disebut sebagai pemilu.

Yang jadi permasalahan, MK tak menjelaskan dengan tegas ke mana kewenangan tersebut mestinya dialihkan. “Kalau soal kewenangan penentuan lembaga persidangan yang tangani sengketa pilkada, kami serahkan ke DPR. Itu terserah mereka sebagai pembuat UU, apakah kembalikan ke MA atau buat lembaga baru,” kata Hamdan selepas sidang.rep:andi mohammad ikhbal/c75 ed: fitriyan zamzami

***

Jumlah Sengketa di MK

2008:

Jumlah Aduan: 27

Jumlah Putusan: 18

Dikabulkan: 3

Ditolak: 12

Tak Memenuhi Syarat: 3

2009:

Jumlah Aduan: 12

Jumlah Putusan: 12

Dikabulkan: 1

Ditolak: 10

Tak Memenuhi Syarat: 1

2010:

Jumlah Aduan: 230

Jumlah Putusan: 224

Dikabulkan: 26

Ditolak: 149

Tak Memenuhi Syarat: 45

Ditarik: 4

2011

Jumlah Aduan: 138

Jumlah Putusan: 131

Dikabulkan: 13

Ditolak: 87

Tak Memenuhi Syarat: 29

Ditarik: 2

2012:

Jumlah Aduan: 112

Jumlah Putusan: 104

Dikabulkan: 11

Ditolak: 57

Tak Memenuhi Syarat: 27

Ditarik: 8

Gugur: 1

2013:

Jumlah Aduan: 200

Jumlah Putusan: 196

Dikabulkan: 14

Ditolak: 132

Tak Memenuhi Syarat: 42

Ditarik: 6

Gugur: 2

Sumber: Mahkamah Konstitusi

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement