Wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak cerah pada Senin (2/6). Di hadapan sejumlah perwira tinggi TNI dan Polri, SBY berbicara dengan nada tinggi dan berulang kali menggelengkan kepala. “Tidak perlu mendengar Presiden kalian, itu kapal karam, mau tenggelam, berhenti, mau selesai. Lebih baik, cari kapal yang mau berlayar dan matahari terbit,” kata SBY kepada para perwira di Kementerian Pertahanan.
Yang disampaikan SBY tersebut, menurut dia, adalah ucapan seorang perwira tinggi TNI kepada para perwira lainnya. Sepanjang pidato pada Senin itu, SBY berulang kali mengatakan, ia diberi tahu soal ajakan kepada anggota TNI aktif untuk condong ke salah satu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres 2014).
SBY mengingatkan, ia masih menjabat sebagai panglima tertinggi TNI. Ia juga mengingatkan amanat undang-undang dan sumpah prajurit soal netralitas TNI-Polri dalam gelaran politik di Tanah Air.
Pidato SBY tersebut kemudian menyulut polemik. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan, tak ada instruksi untuk berpihak ke salah satu capres di jajarannya. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Budiman juga melayangkan bantahan serupa. Sementara, pihak Istana Negara menegaskan, informasi yang diterima SBY adalah A1 alias valid kebenarannya.
Kendati demikian, tak ada polemik tanpa preseden. Sejarah panjang perpolitikan Indonesia yang dicampuri TNI, terutama TNI AD selama masa Orde Baru memicu kekhawatiran soal terlibatnya kembali TNI dalam perpolitikan.
Selain itu, pada Mei lalu petinggi TNI juga larut dalam isu pendampingan capres tertentu. Moeldoko dan Budiman sempat digoda untuk mendampingi Joko Widodo sebagai cawapres.
Saat isu tersebut bergulir, keduanya tak menyatakan penolakan. Budiman saat itu mengatakan, pencawapresan dirinya ia serahkan pada Tuhan dan hal tersebut bergantung keputusan PDI perjuangan. Sementara, Moeldoko lebih bersikap tak mau menjawab dan tersenyum setiap ditanyai soal pencawapresannya saat itu.
Saat isu ajakan kepada para perwira untuk mendukung capres tertentu mereda, kasus lain mengambil tempat. Seorang bintara pembina desa (babinsa) Koptu Rusfandi dilaporkan warga Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, mengarahkan warga memilih pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Arahan tersebut dilaporkan terjadi saat Rusfandi mendata preferensi politik warga Cideng.
Kubu pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) langsung menudingkan jari ke pihak Prabowo. Terlebih, capres nomor satu tersebut mantan jenderal yang menurut pihak Jokowi-JK masih mampu memengaruhi anggota TNI.
Di pihak lain, belakangan kubu Prabowo-Hatta Balik menunjuk ke pihak Jokowi-JK sebagai penggulir isu tak netralnya TNI dalam Pilpres 2014. Kubu Prabowo-Hatta menilai, penggerakan babinsa untuk mengarahkan pilihan warga adalah konter intelijen yang dijalankan para mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) yang bergabung di pihak Jokowi-JK.
Pelibatan babinsa dalam pengamanan pilpres sebelumnya sempat dinyatakan Budiman dalam rapat koordinasi nasional di Mabes TNI AD pada 2 Juni. Budiman saat itu menekankan, puluhan ribu pasukan TNI AD akan dikerahkan guna mengamankan pilpres. “Kami akan siapkan aparat teritorial, mulai dari babinsa, personel Koramil, Korem, Kodim, hingga Kodam," katanya dia.
Ia mengatakan, sejumlah prajurit TNI tersebut mesti melakukan pengawasan terhadap titik rawan yang dapat mengacaukan pelaksanaan pilpres. Budiman juga mengatakan, TNI AD melalui babinsa dan prajurit di lapangan yang berinteraksi dengan masyarakat diharapkan memberikan arahan terkait kampanye hitam menjelang pilpres.
Ia juga memerintahkan komandan Koramil, Kodim, Korem, dan Pangdam untuk memetakan kekuatan politik dan parpol di daerah-daerah yang mereka jaga. "Kita ketahui pemetaan dengan benar dan teliti. Kemungkinan-kemungkinan kelompok yang sangat keras agar dapat diturunkan tensinya. Jaga itu betul," katanya.
Meski begitu, TNI AD tetap menindaklanjuti laporan terkait Rusfandi tersebut. Rusfandi dihukum penahanan berat selama 21 hari. Dari keterangan pihak TNI AD, Rusfandi dinilai melakukan insubordinasi karena mendata preferensi politik warga tanpa ada instruksi atasan. Soal pengarahan kepada capres tertentu, menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa, Rusfandi hanya kebetulan menanyakan pilihan warga dengan menunjuk foto pasangan Prabowo-Hatta.
“Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan seolah-olah Koptu Rusfandi "mengarahkan" saudara AT untuk memilih salah satu capres. Namun demikian, tindakan Koptu Rusfandi adalah kesalahan," ujar Andika yang juga menantu mantan kepala BIN AM Hendropriyono, purnawirawan yang kini bergabung ke kubu Jokowi-JK, Ahad (8/6).
Tindakan Koptu Rusfandi disebut Andika merupakan inisiatifnya dan lebih disebabkan ketidaktahuannya tentang tugas-tugas babinsa. Yang bersangkutan, kata Andika, baru bertugas sekitar satu bulan di Satuan Teritorial Koramil Gambir setelah pindah tugas dari Satuan Tempur Batalyon Kavaleri 6 di Kodam 1 bukit Barisan, Medan.
Danramil Gambir Kapten Inf Saliman, sebagai atasan langsung Koptu Rusfandi, juga dinilai tidak melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal itu karena Kapten Saliman menugaskan Koptu Rusfandi yang jabatan sebenarnya adalah tamtama pengemudi di Koramil Gambir untuk melakukan tugas babinsa tanpa memberikan pembekalan. Ujung-ujungnya, Kapten Inf Saliman turut dihukum karena bersalah melakukan pelanggaran disiplin dan diganjar hukuman teguran serta sanksi tambahan penundaan pangkat selama satu periode.
Berkebalikan dengan pernyataan Mabes TNI AD, Moeldoko menjelaskan, berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan Bawaslu, apa yang dilaporkan dalam kasus babinsa tidak terbukti sebagai pelanggaran pemilu. “Justru, masyarakat sekitar siap menjadi saksi. Ketua Bawaslu telah nelepon kepada saya, Bawaslu menyerahkan kepada panglima untuk menyelesaikan semua itu," kata Moeldoko pada hari yang sama saat TNI AD menjatuhkan sanksi untuk Rusfandi.
Belakangan, TNI kembali terseret dalam pusaran polemik Pilpres 2014. Sebuah dokumen rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo Subianto yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Perwira pada 1998 beredar di dunia maya. Kepala BIN Marciano Norman menilai, kebocoran tersebut hal yang serius.
Menurut dia, hal itu harus dijelaskan TNI karena surat seharusnya tidak bisa dipegang orang-orang yang tidak berkepentingan. "Saya rasa, masalahnya sudah lama. Saya rasa, pihak berwenang harus evaluasi itu. Dokumen itu tidak boleh bocor pada mereka yang tidak berkepentingan," kata dia.
Ia menduga, dokumen tersebut dimiliki oleh Markas Besar (Mabes) TNI. Karena itu, ia beranggapan, jajaran TNI harus melakukan evaluasi, sebab dokumen rahasia tidak boleh keluar dari Mabes TNI. Norman enggan mengomentari soal potensi politisasi surat tersebut.
Jenderal Budiman menegaskan, di TNI AD tidak ada pihak yang membocorkan surat rahasia itu. "Saya tidak tahu, jika di angkatan darat tidak ada sama sekali (membocorkan)," ujar Budiman, Selasa (10/6).
Ia menuturkan, tidak tahu menahu mengenai surat rahasia tersebut mengingat TNI AD tidak mengeluarkan sama sekali terkait surat rahasia tersebut. "TNI AD tidak sama sekali (mengeluarkan surat)," katanya.
Aneka peristiwa yang mengaitkan militer dengan pilpres tersebut, menurut pengamat politik LIPI Ikrar Nusabakti, mesti disikapi. Masyarakat harus diyakinkan kembali soal netralitas TNI dalam politik.
Mengenai konstalasi politik di tubuh TNI dan Polri, Ikrar mengatakan, SBY menjadi yang bertanggung jawab. Sebagai Presiden, seharusnya ia bisa melakukan kontrol. Ia menegaskan, pidato tidak menjadi jaminan, TNI-Polri akan netral. rep:esthi maharani/wahyu syahputra/c75/antara ed: fitriyan zamzami
***
Dasar Netralitas TNI-Polri:
Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945:
- Keberadaan TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan keamanan dalam pasal tersebut ditafsrikan bahwa TNI-Polri tak boleh berpolitik praktis.
Pasal 381 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif (Pileg):
- Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam pemilu.
Pasal 260 UU UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden:
- Anggota TNI dan Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pilpres 2009 (direvisi menjadi tak memilih untuk pilpres).
- UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri:
Dalam regulasi tersebut diatur bahwa sikap netral dalam politik mengikat bagi anggota TNI-Polri aktif.
Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000:
Pasal 5 Ayat 2:
- Tentara Nasional Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Pasal 10 Ayat 1:
- Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Lini Masa:
3 Juni 1947
Presiden Sukarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
15 Juli 1958
Militer diwacanakan sebagai kekuatan politik sebagai "golongan fungsional" yang berhak menempatkan wakil di lembaga negara.
12 November 1958
Istilah “dwifungsi” mulai digunakan untuk menyebut dua peran TNI/Polri dalam pertahanan negara dan politik.
30 September 1965
Terjadi penculikan sejumlah jenderal TNI yang ditudingkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
17 Desember 1969
Pemerintah mengesahkan UU Nomor 15 Tahun 1969. Anggota TNI/Polri tak diberi hak pilih dan memilih, tapi bisa ditempatkan di dewan perwakilan dengan mekanisme pengangkatan.
19 September 1982
Keterlibatan militer dalam politik ditegaskan melalui UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Hankam.
11 Maret 2003
Pemerintah mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menegaskan pembatasan hak pilih dan dipilih untuk anggota TNI/Polri. Anggota kedua institusi juga tak boleh menempatkan wakil di lembaga legislatif.
16 Oktober 2004
Pemerintah mengesahkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang melarang anggota aktif TNI terlibat politik praktis.
Sumber: Pusat Data Republika