Pertama kali dalam sejarah negeri ini, seorang ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dipaksa mundur dari jabatannya karena terseret skandal pelanggaran etika. Adalah seorang wakil rakyat dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) I, Setya Novanto. Pada malam 16 Desember 2015 lalu, Setya menyatakan pengunduran dirinya dari kursi ketua DPR periode 2014-2019.
Pengunduran diri itu tidak disampaikannya secara langsung, tetapi melalui surat resmi yang dibacakan di sidang terbuka MKD. Keputusan tersebut diambilnya tepat menjelang sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menentukan sanksi kepadanya.
"Drama" persidangan skandal pencatutan nama pemimpin negara menguras perhatian dan emosi publik satu bulan lamanya. Skandal ini terkuak dari pengaduan yang dilakukan Menteri ESDM Sudirman Said kepada MKD pada 16 November 2015 lalu. Setya dilaporkan karena diduga mencatut nama presiden terkait perpanjangan kontrak PT Freeport.
Saat ditanya soal pengunduran dirinya, Setya pada 16 Desember 2015 di kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Jakarta Selatan, mengatakan, ia mundur untuk masa depan bangsa yang lebih baik. "Dalam pemikiran yang saya lihat, tentu supaya semuanya ini berjalan dengan baik. Demi masa depan bangsa kita, maka saya sudah menyatakan untuk mengundurkan diri."
"Dengan itulah, mudah-mudahan bangsa kita akan lebih baik ke depan dan sekali lagi saya mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Apa tugas-tugas yang saya jalankan, semuanya demi rakyat. Semuanya demi bangsa Indonesia," kata Setya Novanto kepada awak media sesaat ketika baru turun dari mobil pribadinya di rumahnya. Setya tampak mengenakan kaus polo berwarna biru gelap dengan celana panjang denim. Raut wajah Setya tampak lelah.
Dalam pidatonya, Setya juga menyampaikan permohonan maaf, kendati tidak menyebutkan skandal pencatutan nama Jokowi-JK. Setya mengklaim, pengunduran dirinya semata-mata dilakukan untuk menjaga kehormatan institusi DPR.
"Dan untuk menjaga harkat dan martabat serta kehormatan lembaga DPR Republik Indonesia. Prinsip tersebut saya pegang sebagai ketua DPR. Dan atas dasar itulah saya mengundurkan diri seraya memohon maaf atas segala kekhilafan yang terjadi," ujar Setya Novanto, Jumat (18/12). Usai mengucapkan salam, Setya Novanto dikerumuni semua pimpinan DPR aktif. Setya tampak semringah.
Pada 2015, sejumlah pejabat telah mengundurkan diri. Selain Setya, ada Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito dan Direktur Perhubungan Darat (Hubdar) Djoko Sasono. Mereka mengundurkan diri lantaran tidak mampu mengemban amanah yang diberikan negara.
Sigit mundur karena merasa gagal tak memenuhi target penerimaan pajak tahun ini. Sedangkan, Djoko Sasono mundur karena merasa bersalah atas kemacetan yang terjadi saat musim libur Natal dan tahun baru.
Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fachry Ali, kemunduran para pejabat elite tersebut secara etika sudah bagus dan bisa dikatakan bertanggung jawab. "Secara etika politik bagus, bertanggung jawab mereka. Merasa gagal ya mereka mundur," katanya saat dihubungi Republika, Senin (4/1).
Fachry mengatakan, dua pejabat di antaranya, Dirjen Pajak dan Dirjen Hubdat, tidak memiliki kepentingan lain atas pengunduran diri selain merasa gagal. Menurut dia, mereka tidak memaksakan diri untuk terus mempunyai jabatan karena mundur atas kesadaran sendiri. "Nggak ada kepentingan. Mereka adalah orang-orang yang etis. Jadi, tidak memaksa diri untuk terus punya jabatan," ucapnya.
Ia melanjutkan, kemunduran pejabat itu harus bisa menjadi teladan bagi pejabat lainnya. Namun, kata dia, jika dibandingkan dengan kemunduran Bung Hatta sebagai wakil presiden pada tahun 1956, kemunduran pejabat tersebut berbeda.
"Ya Bung Hatta tentu saja sangat etis, tapi nggak ada kemiripan karena lebih bermakna Hatta," ujarnya. Menurut Fachry, Bung Hatta mengundurkan diri karena menghindari konflik dan memberikan kesempatan kepada Sukarno untuk melaksanakan pikiran dan gagasannya. "Kalau sekarang kan lebih bersifat teknis. Tapi, tetap saja pertimbangannya adalah pertimbangan etis," jelas dia.
Hal senada juga diungkapkan pengamat politik Syamsuddin Haris. Menurutnya, pengunduran diri pejabat tersebut merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan dalam menjalankan tugas negara. "Karena tradisi mundur ini tradisi baik, mestinya menjadi budaya politik bangsa kita," katanya.
Menurut Syamsuddin, pengunduran diri pejabat tersebut patut dihargai dan tidak usah dibawa-bawa ke kepentingan politik. Bahkan, jika pun pengunduran diri pejabat itu diduga akan ada proyek-proyek yang terbengkalai, kata dia, masih ada pejabat-pejabat yang lain mungkin lebih baik dari mereka.
"Saya tidak tahu mereka atas kesadaran sendiri atau tidak, tapi orang yang mundur itu patut diapresiasi," ujarnya.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, mundurnya pejabat pada tahun lalu seharusnya dapat dicontoh oleh pejabat-pejabat lainnya. Terlebih, ia melihat mundurnya pejabat tersebut karena memang kesadaran dari diri sendiri.
Di samping kesadaran diri sendiri, Ray juga melihat, mundurnya mereka juga berdasarkan dari desakan publik. Saat ini publik dinilai lebih cerdas dan kritis atas keadaan negara sehingga desakan publik memiliki peran penting.
Melihat tren yang positif dari mundurnya pejabat, seharusnya dapat dicontoh oleh pejabat lainnya. Keberanian mengundurkan diri justru harus mulai dilakukan oleh pejabat publik yang terbukti gagal dan melakukan kesalahan.
Sudah lama, menurut Ray, pejabat tidak membiasakan diri untuk mengakui kesalahan. Bahkan, mereka cenderung memberikan alasan-alasan untuk mempertahankan jabatannya.
"Karena, saat ini sangat jarang menemukan pejabat negara yang mau mengundurkan diri meskipun melakukan kesalahan sangat fatal," kata Ray Rangkuti saat dihubungi Republika, Senin (4/1).
Ray menjelaskan, pejabat publik cenderung menggunakan alasan melepaskan tanggung jawab saat mereka harus mengundurkan diri. Padahal, dengan melepaskan jabatannya, pejabat publik memberikan kesempatan pada pihak lain yang lebih mampu untuk memperbaiki.
Pejabat publik seharusnya mengikuti norma yang berlaku dalam publik. Sehingga, ketika publik merasa tidak lagi dilayani dan dicurangi, pejabat publik harus melepaskan jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab.
"Ini seperti memberi pelajaran penting bagi pejabat publik, khususnya jangan tetap ngotot menjabat di kala mereka gagal," kata Ray. N c39/c27