JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad menyatakan perlu penyatuan lembaga peradilan tentang pemilihan umum (pemilu). Sebab, banyak lembaga yang memutus perkara pemilu sehingga membuka peluang terjadinya multitafsir.
"Menurut saya, ke depan, satu lembaga peradilan pemilu selesaikan urusan pemilu," ujar Muhammad dalam diskusi publik "Rekomendasi Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu" di Jakarta, Senin (25/8).
Muhammad menjelaskan, lembaga yang diberi kewenangan memutus perkara pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengaturan ini menyebabkan multitafsir putusan perkara pemilu.
Dia mencontohkan kasus pembukaan kotak suara yang dilakukan oleh KPU dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Ada dua putusan berbeda antara MK dan DKPP. MK tidak mempermasalahkan pembukaan kotak suara.
Bahkan, MK justru mengapresiasi pembukaan suara itu. Namun, DKPP memberikan peringatan keras terhadap komisioner KPU. "Fakta sama, namun diberi arti berbeda. Mudah-mudahan DPR ke depan memperhatikan hal itu," kata dia.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengatakan, perlu ada penyatuan enam undang-undang yang mengatur pemilu. Sebab, enam UU yang mengatur pemilu ini justru membuat kekosongan hukum dan tumpang-tindih serta memunculkan putusan berbeda. rep:c75/antara ed: ratna puspita
***
Peradilan Pemilu
Lembaga
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK)
Menyidangkan sengketa hasil pemilu.
Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Menyidangkan pelanggaran kode etik.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
Mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran terhadap aturan pemilu.
Mahkamah Agung (MA)
Menyidangkan pelanggaran pidana.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Menyidangkan sengketa yang bersifat administrasi, bukan terkait hasil atau pelanggaran pidana.
Sumber: Pusat data Republika