SURABAYA — Gagasan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjatah secara merata kursi ketua DPR bagi setiap partai politik (parpol) ditolak Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani. Tak tanggung, Puan melayangkan kritik tersebut di arena Muktamar PKB di Surabaya.
"Kursi pimpinan DPR itu hak partai pemenang pemilu. Kalau itu dihilangkan, mau dibagi rata saja untuk apa partai-partai berlomba memperjuangkan agar bisa menang pemilu," ujar Puan, Ahad (31/8).
Duduk di barisan depan hadirin, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya tertawa menanggapi pernyataan Puan. Dibalut dengan gaya dan senyum menyindir, Puan melanjutkan kritiknya terhadap gagasan bagi rata kursi pimpinan DPR itu. "Kalau begitu, sekalian suara rakyat dibagi rata saja ke setiap parpol. Tidak usah ada pemilu sekalian," kata putri Megawati Soekarnoputri tersebut.
Perdebatan penjatahan kursi ketua DPR mencuat pascadisahkannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Juli lalu. Berdasarkan peraturan tersebut, jatah ketua DPR secara otomatis untuk partai pemenang pemilu tidak berlaku lagi. PDIP dan aliansinya melakukan aksi walk out dalam pengambilan keputusan tersebut.
Politikus PDIP I Wayan Koster menganggap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sarat ketidakadilan. "Ini harus diubah oleh kawan-kawan di DPR. Ini tidak fair (adil). Nuansa politik boleh saja, tetapi jangan terlalu vulgar. Tidak sehat ini," ujarnya.
Anggota Komisi X DPR itu bahkan menuding UU hasil revisi undang-undang sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 tersebut, merupakan akal-akalan segelintir orang yang ingin menduduki kursi panas pimpinan DPR RI. "Menurut saya, ini tidak konsisten dalam menjalankan proses demokrasi," katanya kecewa.
Koster menyayangkan etika politik yang dimiliki beberapa pihak yang menginginkan UU MD3 yang salah satunya mengatur pemilihan pimpinan DPR melalui voting. "Dulu kita sudah berjalan dengan sistem yang ada, yakni partai pemenang pemilu otomatis menjadi pimpinan DPR. Tetapi sekarang diubah, dipilih dengan voting," katanya.
PDIP telah mengajukan permohonan uji materi terhadap revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 itu di Mahkamah Konstitusi. Pihaknya berharap agar MK mengabulkan permohonan partainya untuk kembali pada pasal sebelumnya.
Sejumlah pasal yang tercantum di dalam UU MD3 itu dianggap cacat dengan salah satu pasal yang dinilai krusial, yakni pasal 84 ayat 1 yang isinya pimpinan DPR terdiri atas satu dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. "Kami harapkan kembali ke pasal yang lama. Ini bukan masalah terancam, tetapi etika politik. Pemilu harus menunjukkan komitmen dengan hasil pemilu," ujarnya.
Sebelumnya, PKB mengusulkan lima posisi pimpinan DPR dan lima posisi pimpinan MPR dibagi rata dengan 10 parpol di DPR periode 2014-2019. "Partai masing-masing dapat satu jatah," kata Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding.
Menurut Karding, pembagian kursi pimpinan DPR dan MPR secara merata akan mengakhiri tradisi perebutan kekuasaan antarpartai di parlemen. Ia menyatakan, partai-partai harus mulai membangun tradisi baru yang didasarkan pada asas kebersamaan. "Insya Allah akan terbangun tradisi kebersamaan di DPR dan akan menjadi contoh yang baik," ujar Karding.
UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 memungkinkan membagi sepuluh kursi pimpinan di parlemen kepada 10 parpol dengan catatan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tidak keberatan dengan pengaturan ini. Sebab pada periode sebelumnya, DPD mendapatkan dua jatah kursi wakil ketua MPR. rep:c54/antara ed: muhammad fakhruddin