Senin 01 Sep 2014 13:00 WIB

Penolakan Revisi UU Advokat Meluas

Red:

BALI — Gelombang penolakan terhadap rencana DPR mengamandemen Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat meluas. Setelah UGM, sejumlah universitas di Sumatra Utara (Sumut) dan akademisi universitas se-Sulawesi Selatan menolak revisi UU Advokat, kini giliran akademisi Bali melakukan hal yang sama.

Para akademisi yang menolak revisi UU Advokat, antara lain, berasal dari Universitas Udayana, Universitas Warmadewa, Universitas Mahendradata, Universitas Pendidikan Nasional, Universitas Panji Sakti, Universitas Ngurah Rai, Universitas Mahasaraswati, dan Universitas Tabanan Bali. Pakar Hukum Universitas Warmadewa Simon Nahak mengatakan, revisi UU Advokat berpotensi meliberialisasi hukum di Indonesia dan memecah belah advokat. Hal itu bisa terjadi lantaran dalam naskah RUU Advokat kini dipegang DPR, para advokat bisa dengan mudahnya mendirikan organisasi pengacara.

"Wadah tunggal advokat, seperti yang ada dalam UU Advokat saat ini, tidak perlu diubah. Sistem single bar ini sudah selaras dan senapas dengan organisasi advokat internasional (International Bar Association/IBA --Red)," kata Simon dalam Seminar Nasional Kajian Akademis RUU Advokat di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, akhir pekan lalu.

Simon melanjutkan, wadah tunggal (single bar) advokat di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan mutu advokat sehingga masyarakat tidak menjadi korban praktik advokat yang nakal. Karena itu, ia menilai, tindakan merevisi UU Advokat patut dicurigai sebagai bagian dari upaya liberalisasi advokat di Indonesia. "Sehingga, bisa menimbulkan jual beli kasus semakin marak," ujarnya.

Simon melanjutkan, apabila revisi UU Advokat lolos, hukum di Indonesia akan semakin rusak. Advokat bisa leluasa berbuat semau mereka tanpa takut pengawasan dan sanksi yang berat. Salama ini, Simon mengungkapkan, wadah tunggal pengacara bisa melakukan fungsi pengawasan yang efektif bagi para pengacara. Advokat yang berbuat merugikan pun bisa dihukum secara pidana.

Kondisi tersebut akan berbeda manakala DPR memberikan jalan mudahnya mendirikan organisasi advokat melalui amandemen UU Advokat. Perubahan prinsip single bar akan menyebabkan tidak adanya standardisasi penilaian terhadap advokat di Indonesia. "Karena masing-masing merasa mereka layak untuk bisa berpraktik atau berperkara di Indonesia," kata Simon.

Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Agus Hariadi mengatakan, sejauh ini pemerintah tidak memprioritaskan pembahasan amandemen UU Advokat. Revisi UU Advokat yang muncul di tengah jalan merupakan usulan DPR.

Kendati tidak masuk prolegnas namun pemerintah terus mencermati masukan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, sehingga keputusan revisi UU Advokat "Tidak bisa diputuskan dalam waktu dekat. "Lagipula, ini kan masih banyak pro dan kontra di kalangan akademisi dan dunia advokat sendiri," ujar Agus.

Ketua Harian Kongres Advokat Indonesia Erman Umar mengatakan, semangat untuk membentuk organisasi tunggal advokat Indonesia sudah lama dirintis para advokat senior sebelum disahkannya UU 18/2003. "Karena itu, ini harus dipertahankan," katanya.

Anggota Pansus RUU Advokat DPR Himmatul Alyah Setiawati menyatakan, Pansus senang mendapatkan masukan dari berbagai kalangan untuk terus membahas revisi UU Advokat. "Semua masukan membuka mata kita semua mana yang lebih baik, apakah single bar atau multi bar. Inilah yang akan saya perjuangkan di rapat pansus nanti," ujar Himmatul tegas.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengatakan, audit terhadap Peradi sebagai organisasi yang dibentuk berdasarkan UU Advokat perlu dilakukan sebelum adanya perubahan UU Advokat.  "Kalau kemudian setelah diaudit ternyata hasilnya buruk, barulah perlu dilakukan perubahan UU Advokat dan bila perlu Peradi dibubarkan saja," kata Otto. antara ed: muhammad fakhruddin

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement