JAKARTA — Proses pembuatan rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU) masih boros anggaran. Efisiensi anggaran tidak terjadi lantaran DPR dan pemerintah terlalu bertele-tele dalam membahas muatan materi undang-undang. "Banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan justru dipaksakan diatur dengan UU," kata pakar konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono dalam Seminar Nasional dan Peluncuran Buku Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (1/9).
Pembentukan UU yang tidak efisien dan rendah kualitas tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pemerintah dan DPR. Bayu mengatakan bahwa rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang juga menjadi faktor yang menentukan.
Untuk itu, Bayu menyarankan perbaikan berbagai aspek pembentukan undang-undang, seperti permasalahan yang berkaitan dengan penyusunan dan realisasi prolegnas, permasalahan dalam proses harmonisasi RUU terhadap UU yang berlaku, dan pelibatan masyarakat dalam pembentukan UU. Selain itu, kurangnya tanggung jawab pemerintah menyukseskan pembentukan UU yang berkualitas hingga pengaruh kepentingan asing dalam pembentukan UU.
Undang-undang yang berkualitas tidak hanya menjamin kepastian hukum, tapi juga asas kemanfaatan dan keadilan. Bayu mengatakan bahwa DPR periode 2014-2019 dan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) harus memprioritaskan agenda pembenahan kinerja legislasi. Jika tidak, Bayu menambahkan, pemborosan anggaran dalam pembahasan RUU akan terus membebani APBN di luar subsidi BBM. "Reformasi regulasi merupakan satu kesatuan dengan reformasi birokrasi dan reformasi kebijakan penganggaran yang menjadi prioritas presiden dan wakil presiden terpilih," ujar Bayu.
Pimpinan Tim Kerja Sosialisasi MPR Achmad Basarah menilai bahwa proses pembuatan UU terjadi karena rendahnya pemahaman terhadap Pancasila. Ia mengatakan, selama periode 2003-2013 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan 519 perkara pengujian UU. Sebanyak 133 perkara atau sekitar (26 persen) telah dikabulkan MK. "Mayoritas pejabat pembuat UU telah kehilangan pedoman memahami tafsir Pancasila sebagai sumber hukum,"rep:muhammad akbar wijaya ed: muhammad hafil
***
Rendahnya produktivitas prolegnas DPR:
1. Periode 1999-2004 mengesahkan 175 UU dari 300 RUU (58 persen)
2. Periode 2004-2009 mengesahkan 193 UU dari 284 RUU (68 persen)
3. Periode 2009-2014 mengesahkan 97 UU dari 247 RUU (39 persen)
Sumber: Universitas Jember