Jumat 12 Sep 2014 17:00 WIB

Polemik RUU Pilkada

Red:

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. RUU ini menyita perhatian rakyat Indonesia karena ada pasal krusial yang berkaitan langsung dengan hak politik mereka.

Yang paling menyita perhatian, yakni soal mekanisme pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD. Ada dua kubu utama dalam RUU ini. Yaitu, fraksi pendukung pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD.

Sebelum RUU ini disahkan pada 25 September 2014, Republika menyajikan peta politik dalam pembahasan RUU Pilkada itu. Dengan adanya peta politik ini, masyarakat bisa menilai mana yang lebih baik antara pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD. ed: muhammad hafil ,

Sumber: Pusat Data Republika, Tim Republika, dan diolah dari berbagai sumber

Perjalanan RUU Pilkada

*2004

- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan. Aturan ini memuat pemilihan kepala daerah (pilkada).

- 1 Juni 2005, pilkada langsung pertama kalinya dilaksanakan untuk pemilihan bupati Kutai Kertanegara yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya.

*2012

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi pelaksanaan pilkada langsung. Kemudian, mengusulkan pilkada dikembalikan ke DPRD dan dituangkan dalam RUU Pilkada yang diusulkan ke DPR.

Alasan :

-  Tingginya biaya politik pilkada langsung. Ini menyebabkan 327 dari 524 kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat kasus korupsi.

- Pilkada langsung menyebabkan konflik horizontal di antara kelompok pendukung calon masing-masing. Selama diterapkan, sudah 70 orang meninggal dan puluhan bangunan dibakar massa.

- Pilkada langsung menyebabkan hubungan kepala daerah dan wakilnya tak harmonis. Sebanyak 94 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi sebelum berakhirnya periode menjabat.

*2014

Panja di DPR menargetkan RUU Pilkada disahkan pada tahun ini dan memunculkan dinamika pandangan antarfraksi maupun pemerintah. Yakni, perubahan sikap sebelum dan setelah pilpres.

**Perubahan Sikap Fraksi

*Mei 2014

--Untuk pemilihan gubernur, seluruh fraksi mendukung pilkada langsung.

--Untuk pemilihan bupati / wali kota, hanya fraksi Demokrat dan PKB yang menyatakan pilkada oleh DPRD. Sisanya menginginkan pilkada langsung.

*3 September 2014

-Partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan Golkar, berbalik arah dengan menginginkan pilkada dikembalikan ke DPRD. Kecuali PKS yang tetap menginginkan pilkada langsung.

-Partai pengusung Jokowi-JK, yakni PDI Perjuangan dan Hanura, menginginkan tetap pilkada langsung. PKB menginginkan pemilihan gubernur dipilih langsung, sedangkan pilkada bupati/wali kota oleh DPRD.

*9 September 2014

PKS memilih pilkada di semua tingkatan oleh DPRD. Sedangkan PKB yang sebelumnya memilih pilkada bupati/wali kota oleh gubernur, sekarang memilih pilkada langsung di semua tingkatan.

* Perubahan Sikap Pemerintah

Pemerintah yang semula mengusulkan agar pilkada dipilih oleh DPRD berubah dengan memilih pilkada langsung. Itu lantaran opsi pilkada langsung  dilakukan secara serentak pada 2015 yang membuat biaya pelaksanaanya lebih hemat.

*Sikap NU:

PBNU mendukung pilkada dikembalikan ke DPRD. Hal ini sesuai dengan Munas NU di Cirebon pada 2011 lalu. NU menganggap pilkada langsung membuat perpecahan antarulama dan masyarakat. (Said Aqil Siradj, Ketum PBNU)

Sikap Muhammadiyah:

Muhammadiyah pernah menolak pilkada langsung pada 2009. Namun, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin baru-baru ini meminta pengesahan RUU Pilkada jangan tergesa-gesa. (Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah)

*Kata Mereka:

- RUU Pilkada hanya kepentingan politik sesaat. (Joko Widodo, presiden terpilih)

- Pilkada langsung hanya menghabiskan uang negara sekitar Rp 57 triliun. (Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra)

- Presiden menyetujui apa yang menjadi keputusan bersama antara pemerintah dan DPR. (Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha)

- Aspirasi rakyat akhirnya membuat pemerintah mau melaksanakan pilkada langsung. (Gamawan Fauzi, Mendagri)

- Kami sepakat untuk menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi ke DPRD. (Vicky Lumentut, Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia sekaligus Wali Kota Manado)

- Bupati dan wali kota milik rakyat maka kami tidak ingin hak asasi memilih itu diambil alih oleh parpol di DPRD. (Isran Noor, Ketua Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia sekaligus Bupati Kuta Timur)

-  Terlalu munafik apabila pilkada langsung diubah dengan alasan biaya tinggi, sementara aturan pembuktian harta terbalik pejabat tidak disertakan. (Basuki Tjahja Purnama, Wakil Gubernur DKI)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement