JAKARTA -- Pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) diprediksi bakal mengancam eksistensi lembaga survei yang mengandalkan survei politik pemilihan kepala daerah. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menyangkal lembaga survei bakal punah setelah kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Qodari mengatakan, lembaga survei tidak hanya berkutat pada survei politik seperti elektabilitas kandidat. Namun, lebih luas lagi, lembaga survei juga menyoroti kinerja pemerintah dan aspirasi masyarakat. "Indo Barometer kebanyakan berkaitan dengan pemerintah pusat dan daerah, tidak cuma elektabilitas tapi juga evaluasi pemerintah," kata Qodari saat dihubungi Republika, Selasa (30/9).
Menurutnya, kebijakan pemerintah sangat urgen untuk disurvei dan dievaluasi. Sebab, untuk mengetahui apakah sesuai dengan aspirasi masyarakat. Namun, setelah pengesahan UU Pilkada pihaknya belum mengetahui pengaturan pilkada di DPRD itu seperti apa. Sebab, putusannya baru soal langsung atau tidak langsung.
Foto:Republika/ Tahta Aidilla
Wartawan mengambil gambar saat paparan rilis Integritas Institusi Demokrasi dan Perkembangan Elektabilitas Partai Politik Menjelang Pemilu 2014 di Jakarta, Selasa (16/7).
Dia menilai, meskipun pilkada lewat DPRD, masyarakat harus tetap mengenal calon kepala daerah mereka. Idealnya, kata Qodari, calon yang terpilih yang dikenal dan populer di masyarakat.
Sebab, lanjut dia, dalam demokrasi pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat. Sehingga, lembaga survei tetap bisa berperan dalam mendukung pelaksanaan pilkada. "Jangan mengajukan calon yang tidak punya gaung di masyarakat, jangan sampai masyarakat bilang DPRD tidak dengar aspirasi masyarakat," ujarnya.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, dampak perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah pasti terasa bagi lembaga survei politik, kalau hanya sekadar memenuhi pesanan untuk menyurvei elektabilitas kandidat sebagai kerjaan utama. "Dia akan punah dengan sendirinya," katanya.
Menurut Firman, sejauh ini pemasukan terbesar mayoritas lembaga survei dalam bidang politik untuk mengukur elektabilitas kandidat.
Oleh sebab itu, lembaga survei harus merespons sebaik mungkin UU Pilkada dan menjadi lembaga survei yang sesungguhnya. Lembaga survei harus menyusun strategi untuk bertahan. Mereka diharapkan tidak sekadar menjadi tim sukses atau instrumen pemenangan kandidat.
Di negara maju, lanjutnya, lembaga survei juga menyurvei RUU apakah bisa diterima masyarakat atau tidak. Selain itu, juga menyurvei kebijakan pemerintah apakah bisa diterima masyarakat. "Levelnya bukan pemenangan kandidat, tapi program kebijakan pemerintah atau oposisi," ujarnya.
Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk mengatakan, UU Pilkada tak akan memengaruhi nasib lembaga survei ke depannya. Dia menjelaskan, meski tak ada lagi pilkada langsung, lembaga survei akan tetap memantau isu-isu politik nasional. rep:c87 ed: muhammad fakhruddin