Kamis 02 Oct 2014 15:00 WIB

Semoga tak Menjadi Bangsa Kasihan

Red:

Oleh: Muhammad Subarkah (Wartawan Republika) -- "Hoe Gaat het met jou? (Apa kabarmu?)" Penggalan kalimat inilah yang diucapkan panglima besar revolusi Sukarno dua hari menjelang wafat. Saat itu, Sukarno yang sakit keras dengan wajah yang pucat dan membengkak dijenguk kolega seperjuangannya, Moh Hatta.

''Oya … ya kabar baik, No ...'' kata Hatta tergeragap menjawab sapaan Sukarno. Saat itu, Hatta terdiam dan kemudian berlinang air mata melihat kondisi koleganya. Hatta tercekat Sukarno terbaring dalam kamar dengan ekspresi yang lusuh. Di sudut kamar tergolek beberapa pisang yang sudah mulai dimakan ngengat. Hatta hanya diam bersedih. Dia terus memijit sahabatnya sembari sedikit berbincang untuk menguatkan hatinya.

         

                                                        ******

Nah, itulah kondisi presiden pertama Indonesia pada saat akhir masa hidupnya. Tak hanya meninggal dalam kesepian, suasana di masyarakat luas pun melupakan jasanya. Sukarno pascameletetusnya G-30-S/PKI terlempar ke sudut. Pidatonya yang sebelumnya selalu melentikkan api, setelah itu perlahan-lahan surut. Apa yang dikatakannya tak digubris. Sukarno jadi bahan tertawaan dan makian. Segala caci maki itu malah ditulis di berbagai tembok di tepi jalanan Ibu Kota. Segala puja dan puji yang selama ini dia dapatkan hilang tanpa bekas.

Suasana yang tak kalah tragis juga terulang sekitar 28 tahun kemudian. Kali ini yang menjadi objek makian adalah presiden penggantinya, Soeharto. Pada saat awal, yakni seusainya peristiwa G-30-S/PKI, nama Soeharto harum membahana. Puja-puji meluas dan dieluk-elukan sebagai bapak pembangunan. Tapi, mulai 21 Mei atau ketika kekuasaannya berakhir, nama Soeharto hancur lebur. Layaknya Sukarno, saat itu pun dia dianggap tak punya jasa bagi bangsa. ''Soeharto dalang segala bencana (SDSB),'' begitu kata mendiang aktivis mahasiswa Unas Jakarta, Nuku Sulaiman, ketika menyebut jenderal tentara asal Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu.

Tepuk tangan dan puja-puji pun kemudian beralih kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kemudian menjabat sebagai presiden menggantikan Soeharto. Sosok dia pun melambung tinggi dan namanya harum mewangi bak melati. Kisah hidupnya menjadi inspirasi. Tanpa sadar, gelar 'Waliullah' diam-diam kemudian disematkan kepada putra sulung KH Wahid Hasyim dan cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari. Kata-katanya menjadi 'hujjah' dikutip di mana-mana dan di berbagai media.

Tapi, 21 bulan kemudian, situasinya tiba-tiba terbalik. Hujatan membanjiri diri Gus Dur. Tak cukup hanya makian, Gus Dur pun dimakzulkan. Nama Gus Dur 'dilepeh' orang layaknya tak punya jasa dan tak punya andil dalam perjuangan politik kebangsaan. Posisi dia kemudian diganti dengan Megawati Soekarnoputri. Putri sang proklamator menaiki jabatan presiden dengan segala pujian dan tepukan membahana. Publik luas menyatakan "Republik telah kembali kepada pewaris sahnya".

Tapi, ini pun tak lama. Setelah kalah dalam Pemilu Presiden 2004, nama Megawati dilupakan. Publik banyak mencelanya dan mencemooh prestasinya selama menjabat sebagai presiden. Kesalahan dia pun terus sibuk dicari untuk kemudian dipakai sebaga alat 'balas dendam politik' kepada dirinya.

Lalu, pihak yang ketiban 'pulung' pujian beralih kepada satria asal Pacitan, Jawa Timur, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bak 'Arjuna' publik mengeluk-elukannya sebagai seorang pemimpin pilihan yang akan menyelamatkan bangsa. Kaum ibu banyak yang jatuh cinta kepada kesantunannya bersikap dan berbicara. Kaum terpelajar terkesima dengan kecanggihan bahasa Inggrisnya dan keluasan literatur bacaannya. SBY adalah idola baru bangsa.

Tapi, 10 tahun kemudian, pesona SBY luntur. Cacian meluncur kepadanya. Di media sosial, SBY dijadikan bahan tertawaan dan gunjingan. Publik yang dahulu memujanya kini balik 'mengutukinya' sebagai biang kemunduran demokrasi. Tak hanya itu, karena tak berani mengakui kekurangan dirinya, publik dengan gampang menyebut segala pesona SBY itu adalah 'pencitraan'.

                                              *****

Setelah masa keemasan SBY berlalu, kini muncullah Joko Widodo. Dia disebut 'Satria Piningit asal Surakarta'. Kekerempengan badannya dijadikan alasan dia sebagai orang yang taat rakus akan harta dan kekuasaan sekaligus merakyat. Tak pandainya Jokowi berorasi dijadikan pembenar bahwa dia adalah pemimpin yang sesungguhnya, yang hanya bisa bekerja dan tak banyak bicara.

Kalau begitu, apakah kisah tragis para presiden Indonesia nanti terjadi juga kepada Jokowi? Jawabnya, bisa saja! Yang pasti 'puja-puji' kepada dia sudah bertebaran. Kisah hidupnya pun sudah banyak dibukukan dan dibuat film. Sosoknya dijadikan media iklan televisi. Sama dengan SBY, Jokowi kini juga menjadi idola atau 'Arjuna' Indonesia dalam bentuk yang lain.

Akankah Jokowi juga akan menuai makian seperti pada pendahulunya? Jawabnya, wallahu 'alam bis shawab. Sebab, bangsa ini punya perilaku 'ngeri-ngeri sedap' layaknya puisi Kahlil Gibran, "Bangsa Kasihan".

Kasihan bangsa

yang menyambut penguasa barunya

dengan terompet kehormatan,

namun melepasnya dengan cacian,

hanya untuk menyambut penguasa baru lain

dengan terompet lagi

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement