JAKARTA — Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai salah satu penyebab rendahnya kinerja DPR adalah dari pimpinan lembaga tersebut. Pimpinan DPR diharuskan mengevaluasi diri agar kinerja legislasi semakin baik.
Setahun lebih bekerja, DPR jauh dari capaian untuk menyelesaikan 37 program legislasi nasional prioritas (prolegnas) tahun 2015. Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan, tantangan pertama dari merosotnya kinerja DPR justru datang dari kursi pimpinan tertinggi DPR. Kalau ingin memperbaiki kinerja legislatif, harus ada evaluasi di kursi pimpinan DPR RI.
Selama tahun 2015 lalu, pucuk pimpinan DPR justru membuat internal DPR mengalami kegaduhan. Tercatat tiga pimpinan yang ada di DPR terlibat pada dugaan pelanggaran kode etik. Puncaknya, 17 Desember 2015 kemarin, Ketua DPR Setya Novanto resmi mengundurkan diri dari jabatannya.
"Kinerja paket pimpinan seperti itu sangat layak untuk dievaluasi. Paket ini sudah rusak oleh pelanggaran etika," ujar Lucius Karus di kantor Formappi, Kamis (7/1).
Lucius menambahkan, perlu ditunggu apakah empat pimpinan DPR yang saat ini ada akan bertahan atau ikut lengser dari jabatannya. Hal yang pasti, imbuh Lucius, untuk memperbaiki kinerja institusi DPR, dibutuhkan sosok pemimpin yang baru dan lebih berwibawa. Kepemimpinan dinilai menjadi faktor kunci kesuksesan kinerja.
Untuk memilih pemimpin DPR yang berwibawa ini, dibutuhkan kepedulian dan tanggung jawab seluruh fraksi yang ada di DPR. Pimpinan DPR harus diisi oleh tokoh yang mampu mengarahkan, memandu, serta bertanggung jawab. Hal ini dibutuhkan untuk mewujudkan institusi DPR yang jujur, efisien, dan efektif.
Lucius menegaskan, jangan sampai posisi pimpinan DPR dijadikan alat kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Juga tak bisa dianggap sekadar formalitas dan pemenuhan nafsu membagi jatah kekuasaan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Sri Budhi Eko Wardhani, menyatakan, perebutan kursi pimpinan membuat kinerja DPR semakin menurun. Terlebih, generasi muda yang seharusnya kritis di DPR justru bungkam. Daya kritis golongan muda seolah hanya melihat kondisi internal DPR yang mengalami kemunduran.
Pimpinan DPR harus mampu memimpin seluruh anggotanya melaksanakan amanat rakyat. Mereka harus mampu menjalankan fungsinya secara maksimal. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pimpinan DPR dinilai gagal menggerakkan seluruh elemen di lembaganya sendiri.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, memang di awal masa sidang terjadi sedikit persoalan dengan munculnya polarisasi Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Namun, persoalan di awal tersebut sudah lama dapat diselesaikan. "Sehingga, praktis pimpinan (DPR) tidak banyak memengaruhi kelambanan legislasi," ujar Agus.
Rendahnya capaian kinerja legislasi harus diakui. Namun, banyak faktor yang memengaruhinya. Sebab, dalam institusi DPR juga ada alat kelengkapan dewan (AKD) dan komisi-komisi. Persoalan capaian legislasi juga disebabkan dari internal DPR.
Selain itu, faktor pemerintah juga sangat menentukan. Dalam sistem konstitusi negara Indonesia, pembahasan undang-undang harus dilakukan oleh DPR dengan pemerintah.
Kondisi pimpinan DPR saat ini yang tinggal menyisakan empat pimpinan tidak akan memengaruhi kinerja legislasi di DPR. Sebab, secara tata tertib dan aturan di UU MD3, hanya dengan kehadiran dua pimpinan atau lebih sudah dapat memenuhi unsur kuorum untuk mendistribusikan pekerjaan di AKD. "Asalkan empat pimpinan yang ada betul-betul fokus, tidak masalah," kata dia menegaskan. n ed: erdy nasrul