JAKARTA -- Tunjangan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 52 Tahun 2014 dinilai wajar sebagai bentuk penghormatan. Namun demikian, anggaran yang digunakan untuk pengadaan rumah itu harus ada batasannya. "Perlu dibatasi dan tidak sampai triliunan harganya," kata pengamat politik M Qodari, di Jakarta, Kamis (12/6).
Qodari mengatakan, tunjangan rumah tersebut sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas kerja seorang presiden. Dan tunjangan ini diberlakukan kepada seluruh mantan presiden dan wakilnya. "(Masalah) ini bukan barang baru," kata dia.
Ia setuju dengan pengadaan rumah untuk mantan presiden itu sebagai bentuk penghargaan. "Sangat tidak etis kalau hanya diberi cenderamata atau plakat," kata dia.
Masalah perdebatan yang terjadi setelah adanya tunjangan tersebut, Qodari melihat itu sebagai penilaian subjektif semata. Menurut dia, pemberian itu sekaligus menjadi peringatan kepada presiden bahwa negara memberikan yang terbaik bagi mereka yang telah berbakti kepada negara.
Berbeda dengan Qodari, Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Maulana menilai, pemberian tunjangan rumah untuk mantan presiden dan wakil presiden itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pengelolaan keuangan negara harus berdasarkan nilai keadilan dan kepatutan.
"Perpres itu jadi ironi, karena selama ini alokasi anggaran, infrastruktur belum semuanya patut dan kurang adil bagi ekonomi rakyat," kata Maulana kepada Republika.
Ia meminta anggaran untuk pengadaan rumah yang jumlahnya maksimal Rp 20 miliar itu digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Misalnya, kata dia, untuk perbaikan transportasi publik. "Menjadi pemimpin negara adalah tugas pengabdian dan tidak seharusnya berharap imbalan ketika pensiun. Jadi, logika berpikir pejabat dan politikus itu harus diperbaiki," paparnya.
Koordinator Investigasi Fitra Uchok Sky Khadafi menambahkan, masih banyak anggota tentara nasional Indonesia (TNI) dan polisi atau para pegawai negeri sipil (PNS) yang lebih pantas mendapatkan tunjangan pengadaan rumah itu. "Saat masih menjabat di TNI mereka dapat rumah dinas, tapi begitu pensiun, mereka diusir dari rumah dinasnya," kata dia. "Ini kan ibarat negara lupa dengan jasa mereka," tambahnya.
Apalagi, kata Uchok, personel TNI maupun PNS itu telah bertahun-tahun mengabdi pada negara, namun mereka tidak mendapatkan rumah. Hal ini, ungkapnya, dikarenakan anggaran negara tidak cukup. "Padahal mereka bisa mencicil," paparnya.
Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan, perpres ini diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin negara. Namun, Dipo menambahkan, perpres itu juga dimaksudkan sebagai penekanan untuk memberikan penghargaan serupa kepada mantan wakil presiden.
Belum bisa direalisasikan
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi mengatakan Perpres 52/2014 itu belum bisa direalisasikan. Sebab, perpres tersebut pun harus memperhatikan peraturan menteri keuangan (permenkeu) sebagai pemegang dana negara.
Ia menambahkan, dalam perpres tersebut, satu rumah untuk mantan presiden dan wapres tidak dibatasi nominalnya. Hal ini berbeda dari Perpres 88/2007 yang mematok angka Rp 20 miliar untuk rumah pimpinan negara. "Nanti perpres sudah lahir, setelah permenkeu keluar, di situ baru saya realisasikan nanti berapa luas tanah, di mana arealnya, berapa anggarannya. Yang menghitung nanti Kementerian Keuangan," katanya, Kamis (12/6).
Sudi menegaskan aturan tentang rumah bagi mantan pemimpin negara ini sudah ada sejak 2004, yakni Keppres 81/2004 yang kemudian direvisi menjadi Perpres 88/2007. Kedua aturan itu dianggap belum detail mengatur tentang rumah yang layak huni. Maka, pemerintah pun kembali melakukan revisi Perpres 52/2014. Dari perpres itu nanti diatur lebih teknis lagi dalam permenkeu. "Pada presiden-presiden sebelumnya sudah ada," katanya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, perpres yang ditandatangani SBY itu menunjukkan dia tidak konsisten dengan instruksinya agar pejabat negara tidak hidup mewah. "Perpres itu harus dibatalkan, itu bertentangan dengan inpres mengenai imbauan pejabat negara untuk tidak hidup mewah," kata wakil koordinator ICW Emerson Yuntho saat dihubungi Republika, kemarin.
Perpres itu, kata dia, bisa melukai hati rakyat yang sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki rumah karena terimpit ekonomi. "Buat apa, mereka kan sudah punya rumah, jumlah itu (20 miliar) tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang belum stabil.
rep:wahyu syahputra/c62/dyah ratna meta novi/meiliani fauziah ed: syahruddin el-fikri