JAKARTA -- Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengakui, bila terdapat mafia di sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Mafia tersebut, diduga menjual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di tengah laut dengan harga nonsubsidi. HNSI meminta praktik mafia ini diberantas karena merugikan nelayan.
Ketua HNSI Yussuf Solichien menerangkan, para mafia tersebut belum tentu berasal dari nelayan. Mereka membeli solar bersubsidi hak nelayan di darat, kemudian menjualnya kembali di laut dengan harga yang lebih mahal. "Mafia ini ada, tapi belum terendus aparat," ujar Yussuf kepada Republika, Kamis (4/9).
Foto:FIKRI YUSUF/ANTARA
Sejumlah warga mengantre membeli solar menggunakan jeriken di Stasiun Pengisian Bahan.
Yusuf bahkan menyebut, penjualan BBM ilegal di laut itu melibatkan kapal-kapal milik asing. Karena itu, perlu ada pengawasan yang ketat terkait distribusi BBM bersubsidi ini. Jika tidak, nelayan tetap tidak bisa menikmati subsidi tersebut secara maksimal akibat jatah solar bersubsidi telah habis oleh kegiatan transhipment.
Penjualan BBM bersubsidi secara ilegal ini memang menggiurkan. Menurut Yussuf, terdapat disparitas harga yang cukup besar. Harga solar bersubsidi Rp 6.500 per liter, sementara solar nonsubsidi mencapai Rp 11 ribu per liter. Bahkan, jika solar dijual di tengah laut, harganya bisa melebihi dari harga normal.
Dengan kondisi ini, HNSI mengajak Kementerian Kelautan dan Perikanan serta PT Pertamina untuk membuat solusi meminimalisasi praktik transshipment ini. Caranya, dengan mengeluarkan kartu pintar. Dengan adanya kartu itu maka kapal nelayan akan tertera dalam database.
Yussuf mencontohkan, dengan program kartu pintar, nama nahkoda, kebutuhan solar, penyerapan solarnya bisa terpantau. Termasuk, akan diketahui kapan kapal tersebut menangkap ikan, di mana, juga transit dan berlabuh di mana saja. Kartu ini bisa juga sebagai alat untuk pengawasan terhadap nelayan.
Sehingga, jika ada nelayan yang nakal, seperti menjual solar subsidi ke harga nonsubsidi, bisa diketahui dengan mudah. Selain itu, dengan adanya kartu ini, pemerintah bisa mengetahui angka riil kebutuhan solar untuk nelayan. "Kami sudah tawarkan program ini supaya ada kartu pintar," ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, membantah bila ada mafia di sektor kelautan dan perikanan. Sharif memang mengakui adanya praktik pencurian oleh kapal asing. Dalam setahun, aparat berhasil mengamankan 100-150 kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia tanpa izin. "Tapi, kalau mafia perikanan atau apalah namanya, saya belum mengetahuinya," ujar Sharif.
Pada Rabu (3/9) Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menetapkan lima tersangka korupsi sekaligus menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan tersangka yang bermula dari laporan PPATK dilakukan terhadap Niwen Khaeriyah (PNS), Yusri (pegawai PT Pertamina), Achmad Mahbub (pemilik kapal tanker), serta Du Nun dan Aripin (oknum TNI AL).
Modus praktik penyelundupan, yakni menjual BBM Pertamina yang ditampung dalam kapal tanker kemudian dikirim ke laut lepas untuk dijual di pasar gelap. Menurut keterangan pihak Mabes Polri, BBM yang beredar di pasar gelap itu dijual dengan harga di bawah standar dengan konsumen berasal dari Indonesia dan pihak luar, seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara lain. rep:ita nina winarsih ed: andri saubani