Mengapa mafia energi, terutama minyak bumi sulit diberantas?
Pemerintah pura-pura tidak tahu. Saya juga khawatir pemerintahan mendatang juga begitu. Kita tentu ingin Joko Widodo (Jokowi) konsisten di manapun untuk memberantas mafia, baik minyak, listrik, gula, atau sektor lain.
Ada yang terindikasi sebagai 'penjahat energi' untuk pemerintahan baru?
Oknum-oknumnya ada. Tinggal kita lihat pilihan menteri nanti, apakah yang dipilih adalah mereka yang mempunyai integritas, profesional, bebas dari kepentingan partai, dan tentunya faktor moral. Ini bisa dinilai. Jika itu semua baik akan baik selanjutnya.
Foto:Yogi Ardhi / Republika
Marwan Batubara
Seberapa mengkhawatirkan pola itu akan berulang?
Ada oknum yang suka 'bermain'. Jokowi akan 'cuma omong doang' kalau oknum itu terpilih. Tapi, ada juga yang potensial, sayang mundur.
Masalahnya di mana?
Sektor migas, masalahnya di sistem. Pertama di konstitusi. Ada 17 undang-undang terkiat migas yang bermasalah. Itu harus dibenahi agar bisa dihasilakan PP dan keputusan menteri yang berkualitas. Good governance dan good corporate governance sangat diperlukan.
Good corporate governance bisa dilakukan dengan membuat Pertamina bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dengan menjadikannya non-listed public company. Pertamina jadi transparan tanpa harus 'dijual'.
Kedua, subjeknya. Profesor saja bermasalah. SBY bilang Jero pekerja keras, ternyata pemeras. Jika menteri yang membawahkan SKK Migas bermasalah, jangan harap di bawahnya akan baik. Pembenahannya harus mulai dari atas. Kita lihat, apakah Jokowi akan konsisten atau sekadar tebar pesona?
Bagaiman mengatasi praktik mafia migas?
Salah satunya, Pertamina membuat laporan rutin ke bursa setelah menjadikannya non-listed public company. Dulu Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil sudah mengusung ini, tapi terpotong pergantian pemerintah.
Saat Mustafa Abubakar menjabat menteri BUMN dia bilang Pertamina butuh waktu tahunan untuk jadi perusahaan publik karena terganjal aturan. Padahal, hanya butuh satu dua bulan. Ini kan niat menghambat. Apalagi pertamina punya piutang public service obligation (PSO) kepada pemerintah. Ada banyak kepentingan.
Siapa saja yang punya kepentingan?
Ini KKN eksekutif, legislatif, dan pengusaha. Yudikatif bisa juga telibat jika ada keterlibatan kepolisian atau kejaksaan. Eksekutif, legislatif dan pengusaha berkepentingan sekali.
Putusan MK November 2012 tegas menyatakan pembubaran BP Migas dan memerintahkan pembentukan undang-undang migas baru. Tapi, pemerintah dan DPR mengulur-ulur hingga dua tahun sisa masa jabatan tanpa hasil.
Apakah selama ini pemerintah tidak serius memberantas mafia migas?
Jelas tidak serius. Buktinya pemerintah mengganti BP Migas dengan BHMN yang pengawasannya juga oleh pemerintah. Jika mau tegas, pengawas tidak seharusnya dari eksekutif tapi juga melibatkan lembaga independen.
Secara menyeluruh memang masalahnya di sistem. Kalau sudah ada niat busuk, peraturan dicari dan dikorek untuk cari celah. Undang-undang tidak tembus, main di PP. Contohnya SKK Migas. Kalau mau terbuka, keuntungan harusnya dipegang Pertamina.
BP Migas kan dibubarkan karena bertentangan dengan konstitusi seperti diputuskan MK, tapi pemerintah malah membentuk SKK Migas lewat Perpres No 9/2013. Energi itu didelegasikan negara kepada BUMN yang memiliki teknologi dan kompetensi untuk dijadikan sumber pendapatan. Tapi, malah diserahkan ke SKK Migas. Maka tidak heran jika 80 persen sumber daya migas dikuasai asing.
Belum lagi cost recovery yang mencapai 15 hingga 16 miliar dolar AS dan dikelola SKK Migas. Mengapa pemerintah dan DPR tidak memasukkannya dalam keuangan negara? Keuangan SKK Migas harusnya masuk APBN. Ini jadi bentuk pembiaran adanya kebocoran. rep:fuji pratiwi ed: andri saubani