JAKARTA -- Revolusi mental yang diusung Presiden terpilih Joko Widodo diminta tidak sekadar wacana. Untuk itu, menteri-menteri dalam kabinet harus diisi orang yang memiliki kompetensi.
Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, jumlah kabinet itu hanya soal prosedural. Jika nantinya menteri Jokowi-JK diisi kalangan ahli yang punya kompetensi, kabinet ramping pun tidak akan menjadi masalah.
"Jangan sampai revolusi mental yang mereka usung itu sebatas teori politik saja. Namun, sejak awal, tidak ada reformasi birokrasi, seperti perampingan kabinet," kata Gitadi, Ahad (14/9).
Sejak awal, tim transisi Joko Widodo (Jokowi) menggadang-gadang perampingan kabinet. Perampingan itu, selain untuk menghemat anggaran, juga bagian dari reformasi birokrasi. Tim sempat mengusulkan opsi perampingan dari 34 menjadi 27 kementerian.
Namun, seiring berjalannya waktu, rencana itu ditangguhkan. Tim transisi pada Jumat pekan lalu mengajukan 34 kementerian seperti pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, terjadi sedikit perombakan, yakni adanya tiga kementerian baru, tiga kementerian gabungan, dan enam kementerian dengan penamaan baru.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana mengingatkan agar Jokowi-JK tak hanya fokus pada jumlah kementerian. Sebab, kata dia, kementerian bukan sekadar masalah ramping atau gemuk. Tapi, bagaimana kementerian bisa menjalankan program.
"Tidak semata-mata jumlah, tetapi harus tepat ukuran. Artinya, kementerian bisa menjalankan program," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (14/9).
Secara umum, Ari menilai, postur kabinet Jokowi-JK yang terdiri atas 34 kementerian sudah cukup ideal. Dia mengatakan, adanya penajaman fungsi kementerian, pemisahan kementerian, dan perubahan nomenklatur (penamaan) kementerian menunjukkan semangat perubahan dari Jokowi-JK.
"Jadi tidak sekadar status quo, tapi ada semangat reform," kata dia. Meski demikian, Jokowi-JK tidak boleh berhenti di sini. Mereka masih harus menyiapkan perubahan lebih lanjut, termasuk dalam internal kementerian masing-masing.
Sebelumnya, pakar politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono, menilai perubahan besar-besaran dapat memicu beragam risiko. Tim transisi sepertinya belajar dari era Presiden Abdurrahman Wahid. Karena, mengubah struktur di atas akan berpengaruh terhadap garis komando ke daerah.
Selain pertimbangan risiko, Teguh menyebut, Tim Transisi Jokowi-JK juga tak lepas dari belenggu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di dalamnya telah diatur kementerian-kementerian yang wajib ada di setiap pemerintahan, semisal, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan lain-lain.
"Tapi, saya sepakat bahwa apa yang dilakukan Tim Transisi Jokowi-JK tidak sensitif terhadap isu-isu yang mengemuka, seperti perampingan kabinet hingga revolusi mental. Tampaknya, ada kendala-kendala teknokratik," ujar Teguh kepada Republika, Sabtu (13/9).
Kepala Staf Kantor Transisi Rini Soemarno pun mengakui, setelah melakukan kajian secara menyeluruh, memang tidak mudah merampingkan jumlah kabinet. Selain itu, jumlah kementerian tidak menjamin adanya efektivitas birokrasi.
Sekretaris Jendral DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo pun mengakui, tidak ada perombakan berarti dalam kabinet. Tjahjo mengatakan, yang terpenting adalah memastikan postur kementerian benar-benar bisa melaksanakan fungsi dasar negara dan tidak tumpang tindih kewenangan.
rep:andi mohammad ikhbal/c62 ed: teguh firmansyah