Agus Hidayat, salah satu petugas kesehatan haji, menulia kalimat di akun FB-nya pada 28 Oktober 2014. "ROTI TAMIS ARAB SAUDI. Tahun 98, waktu berhaji harga 1 riyal dapat 1 buah, dan bisa dimakan untuk empat orang. Pada 2008, 2009, 2011, 2012 dan tahun 2014, harga Roti Tamis masih tetap 1 riyal. Kok bisa, ya?"
Salah satu rekannya menimpali: "Karena di Arab Saudi tidak kenal dengan inflasi. Pada 2012, kurs 1 riyal setara Rp 2.750 dan 1 dolar AS setara 3,75 riyal. Pada 2014, kurs 1 riyal = Rp 3.280, sedangkan 1 dolar AS setara (tetap) yakni 3,75 riyal. Yang bermasalah sebetulnya Pemerintah Indonesia."
Sedangkan, komentar saya atas postingan Pak Agus adalah, "Di Arab Saudi tidak banyak mafia tepung, mafia gula, mafia minyak untuk masak, transportasi dan sebagainya. Kalau ada oknum petugas ketahuan mencuri, sanksinya tegas, aparatnya juga patuh pada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Pemerintah setempat juga bijak menerapkan subsidi dengan memanfaatkan seutuhnya sumber daya alam (SDA) berupa minyak. Pantas ditiru (bagi) pemegang amanah di Indonesia."
Sekarang saya mau berbagi kisah saat selama 73 hari bertugas meliput jamaah haji di Arab Saudi dan baru tiba di Indonesia pada Ahad (9/11) pekan kemarin. Meski merupakan salah satu negara dengan produksi minyak terbanyak di dunia, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terbukti mampu mengelola produksi minyak dengan bijak. Jangan heran, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Ron 95 dan Premix di pom bensin Arab Saudi (sekelas Premium dan Pertamax di Indonesia) jauh lebih murah daripada harga sebotol air mineral ukuran 330 mililiter (ml). Harga satu liter BBM jenis Ron 95 hanya 45 halala atau sekitar 0,45 riyal Arab Saudi (SR) atau sekitar Rp 1.400 per liter. Sedangkan, BBM jenis Premix (kalau di Indonesia setara Pertamax) dihargai 60 halala (0,60 SR) atau sekitar Rp 1.900 seliter.
Selama bertugas di Kota Jeddah, Makkah dan Madinah, saya dan peliput haji mengendarai kendaraan van merek Toyota jenis Hiace. Setiap membeli bensin di pom, sopir yang membawa rombongan peliput haji cukup mengeluarkan uang sebesar 22 riyal. Dengan uang sebesar itu, petugas pom mengisi tangki dengan 48 liter bahan bakar dengan kadar oktan 91. Bandingkan dengan harga air mineral kemasan 330 ml. Untuk membeli satu botol air mineral ukuran itu, saya merogoh 1 riyal. Satu Riyal setara 100 halala. Sedangkan dengan kurs rupiah, satu riyal setara Rp 3.100-Rp 3.200, tergantung kurs yang berlaku. Bukan hanya lebih murah dari harga satu botol air mineral.
Harga bensin di negara padang pasir ini bisa tujuh kali lipat lebih murah di bawahnya dibandingkan dengan tarif parkir di pusat perbelanjaan. Yang menarik, hampir semua wilayah di Arab Saudi ternyata bebas parkir, kecuali beberapa lokasi, seperti bandara dan sebagian kecil pertokoan atau pusat perbelanjaan. Tarif parkir satu jam setara 3 riyal. Contohnya, saat saya dan peliput haji memarkirkan mobil di Terminal Haji dan Umrah Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Pengelola memasang tarif parkir sebesar 3,5 riyal per jam atau setara Rp 10.850. Kendaraan peliput haji pernah enam jam berada di bandara, dan ketika sopir mobil membayar tarif parkir, biaya yang dikeluarkan 21 riyal atau sekitar Rp 65.100. Dalam mata uang Arab Saudi, halala dipergunakan untuk mata uang logam, dengan satuan 5, 10, 25, 50, dan 100 halala. Sedangkan, mata uang kertas untuk pecahan 1, 5, 10, 20, 50, 100, 200, 500 riyal. Pada Desember 2013 lalu, produksi minyak Arab Saudi mencapai 9,8 juta barel per hari.
Senin (17/11) malam kemarin, Pemerintah Indonesia akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter. Harga tersebut berlaku mulai Selasa (18/11) dini hari. Dengan kenaikan itu atau menjadi Rp 8.500 per liter, harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi di Indonesia kini termahal di antara negara kawasan Asia Tenggara, seperti di Malaysia. Di Malaysia, harga bensin jenis Ron 95 dan solar diesel masing-masing 2,30 ringgit (sekitar Rp 8.400) dan 2,20 ringgit (Rp 8.100) per liter. Artinya, BBM jenis Premium yang memiliki Ron 88 di Indonesia lebih mahal dari bensin di Malaysia yang memiliki Ron 95.
Sedangkan, harga solar di Indonesia relatif lebih murah dari Malaysia. Sedangkan, harga BBM nonsubsidi, yakni Pertamax Plus yang sama-sama memiliki Ron 95 masih lebih mahal dari Malaysia. Di Indonesia, harga Pertamax plus per Senin (17/11) mencapai Rp 11.600 per liter. Harga Pertamax Oktan 92 juga ikut lebih mahal dari bensin di Malaysia karena masih dijual seharga Rp 10.200 per liter. Padahal, oktan bensin ini lebih rendah dari bensin di Malaysia.
Selain bersiasat mengalihkan subsidi BBM ke sektor lain dalam kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi, Pemerintah Indonesia sejatinya belajar dari Pemerintah Arab Saudi bagaimana mengelola inflasi. Termasuk bagaimana memproduksi dan mengelola sendiri minyak mentah agar tak tergantung impor. Justru, ketika harga minyak dunia turun, kenaikan harga BBM subsidi tak buru-buru ditetapkan.
Seperti roti tamis, saya juga ingin harga pisang goreng saat ini Rp 2.000 tetap stabil saat saya beli di tahun 2018. Tapi, bila terlanjur harga BBM subsidi naik, seharusnya ikuti dengan tindakan tegas memberantas mafia minyak dan rente-rentenya, agar pemerintah mendapatkan penerimaan tambahan dari kebocoran impor minyak. Bila kebocoran bisa ditutup, harga BBM berubsidi bisa diturunkan lagi, kok. n
Oleh: Zaky Al Hamzah
Email: [email protected]