Jumat 08 Jan 2016 13:00 WIB

Toyota, Wujud Cinta Anak pada Ibunya

Red:

Di museum Toyota di Nagoya, Jepang, ada patung kayu. Sebagian pengunjung tak peduli. Patungnya memang indah. Seorang ibu sedang duduk menggelosor. Ia sedang menenun dengan alat tenun tradisional. Ini pemandangan yang biasa kita temukan pada suku-suku tradisional di Indonesia hingga saat ini seperti di Sasak, Lombok.

Namun, pemandu museum memberi makna penting tentang patung itu. Sakichi Toyoda (1867-1930) memulai imperium bisnisnya karena cinta seorang anak pada ibunya. Ibunya adalah seorang pengrajin tenun.

Cara kuno itu tidak produktif, lamban, dan benang sering putus. Sakichi berpikir keras bagaimana agar tenun ibunya lebih produktif, efisien, dan unggul secara kualitas. Untuk membantu ibunya, ia pun melakukan banyak riset dan uji coba.

Ia kemudian dikenal sebagai penemu dan industrialis. Ia dijuluki sebagai Bapak Revolusi Industri di Jepang dan Thomas Alva Edisonnya Jepang. Edison dikenal karena temuan-temuannya yang berjibun.

Ayah Sakichi adalah seorang tukang kayu. Perjalanan hidup Sakichi adalah cermin gabungan ayah dan ibunya. Tukang kayu hakikatnya adalah seorang pencipta. Sakichi mewarisi keterampilan itu. Ia menciptakan peralatan tenun untuk ibunya.

Temuan pertamanya adalah alat tenun tangan dari kayu pada 1890. Ibunya tak perlu duduk menggelosor, tapi duduk layaknya di kursi yang menyatu dengan alat tenun. Dua tahun kemudian ia menemukan alat tenun kaki, juga dari kayu.

Setelah itu ia mulai membuat alat tenun dari besi. Ia juga menemukan alat pemintal benang, peluru untuk meluncurkan benang, sekoci, dan sebagainya. Mulai dari yang manual hingga yang otomatis.

Ia juga menciptakan teknik jika ada kesalahan, seperti ada salah satu benang yang putus, maka alat tenun itu secara otomatis berhenti sehingga tak menghasilkan kain yang cacat. Ia juga menciptakan sistem pergantian sekoci secara otomatis.

Temuan sekoci jenis ini menyempurnakan alat tenun otomatis Tipe G, yang menjadi mesin tenun terbaik di dunia pada masanya. Produksinya bisa 20 kali lipat dari alat tenun otomatis lain. Inilah puncak penemuan Sakichi pada 1924. Untuk menghasilkan puncak karya Tipe G itu diperlukan kebih dari 50 temuan yang dipatenkan Sakichi. Salah satu temuan bersejarah lainnya adalah alat tenun yang berbentuk sirkular. Alat ini dipasang khusus di lobi museum.

Temuan demi temuan yang dilakukan Sakichi membuat industri tekstil Jepang mengalami kemajuan pesat dan salah satu yang termaju di dunia. Namun, mimpi Sakichi tak berhenti di tekstil. Ia melihat Eropa dan Amerika Serikat berhasil mengembangkan alat pengangkutan yang modern: mobil.

Sakichi menugaskan anaknya, Kiichiro (1894-1952), untuk melakukan riset dan kerja sama dengan mereka. Kiichiro keliling Inggris dan AS. Mereka bekerja sama dan belajar dari Ford dan General Motor (GM), dua perusahaan otomotif di AS. Selain itu, juga belajar dari perusahaan-perusahaan lain di Inggris.

Mereka menyerahkan hak paten mesin tenun Tipe G untuk bisa belajar tentang teknologi otomotif tersebut. Kiichiro memang banyak ditugasi untuk belajar ke Eropa dan AS. Ia melakukan perjalanan pertama pada 1921 dan yang kedua pada 1929. Kiichiro mulai membentuk divisi otomotif pada 1933 hingga kemudian berdiri perusahaan tersendiri pada 1937.

Keluarga Toyoda adalah keluarga yang sederhana. Awalnya nama perusahaan ini bukan Toyota, melainkan Toyoda. Tetapi, mereka tak ingin nama keluarga menjadi nama perusahaan. Mereka mengadakan lomba dan yang menang adalah nama Toyota. Ini terjadi pada 1936.

Sakichi terpicu melakukan riset dan penemuan berkat lahirnya UU Hak Paten pada 1885. Masa Restorasi Meiji adalah masa ketika Jepang melakukan modernisasi besar-besaran. Kelahiran UU itu adalah salah satunya, yakni mendorong anak negeri untuk berkarya. "Ini dia," kata Sakichi ketika UU itu lahir—bandingkan dengan lahirnya UU Hak Cipta di Indonesia yang lebih dimotivasi untuk melindungi paten asing.

Sejak itu, Sakichi membatin, "Saya putuskan sepanjang hidupku untuk menemukan sesuatu." Semangat monozukuri memang menjadi spirit bangsa Jepang. Ia menggabungkan spirit Meiji dengan spirit tradisional Jepang. Mono berarti barang dan zukuri bermakna membuat. Jadi, monozukuri adalah membuat barang.

Soichiro Toyoda (lahir 1925), generasi ketiga pendiri Toyota, mengungkit soal spirit ini saat berpidato menerima Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia pada 15 Desember 2015. "Semangat monozukuri menjadi pendorong kami," katanya.

Mengenang kembali kunjungan ke museum Toyota, kembali membayangkan patung seorang ibu yang sedang menenun. Tak ada semangat untuk menonjolkan patung itu. Ia diletakkan secara biasa dan tidak pula di tempat istimewa. Bangsa Jepang terlalu rendah hati untuk menonjolkan ego pribadi.

Museum itu lebih menonjolkan sejarah penemuan dan kerja keras keluarga Toyoda dalam membangun Toyota dalam bingkai semangat memajukan Jepang dan kemanusiaan. Museum itu juga tak menempatkan capaian terkini, tapi justru rentetan penemuan "kecil" di masa dini. Namun, di dalam hati, Sakichi tak hanya mengenangkan Restorasi Meiji, tapi juga pengabdian seorang anak untuk ibundanya. n

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement