Puluhan formulir pernyataan kesanggupan mengikuti program eksodus Gafatar berserakan di sebuah rumah yang terletak di Dusun Kadisoka, RT 02, RW 04, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (12/1).
Lembaran formulir tersebut sudah lusuh karena terkena air hujan, namun isi tulisannya masih bisa terbaca jelas. Layaknya formulir pendaftaran sebuah program, berkas yang ditemukan di rumah yang diduga markas Gafatar ini memiliki kop surat resmi berwarna oranye.
Pada bagian kop surat, tertulis Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Fajar Nusantara DIY. Di bagian awal formulir ada beberapa kolom yang harus diisi meliputi nama, usia, jabatan, struktur, alamat, dan catatan kesehatan khusus.
Bagian selanjutnya berupa pilihan pernyataan untuk mengikuti eksodus Gafatar, yaitu sanggup, ragu-ragu, atau menolak. Jika peserta eksodus sanggup berangkat, tercantum pula pilihan kendaraan untuk melaksanakan eksodus.
Jenis kendaraannya berupa kapal laut atau pesawat, lengkap dengan pernyataan kondisi keuangan siap atau belum siap. Selain itu, ada pula kolom isian mengenai harta peserta eksodus berupa harta bergerak, tidak bergerak, dan dana cepat cair.
Kemudian, ada pilihan apakah harta tersebut akan dijual atau tidak. Apabila dijual, peserta wajib mengisi catatan nazar kepada organisasi. Di kolom terakhir terdapat tulisan pemesanan tipe rumah tinggal, dengan pilihan harga senilai Rp 10 juta dan Rp 20 juta.
Di bawah berkas tertulis alamat sekretariat Gafatar, yakni Taman Kuliner K67, Condongcatur, Depok, Sleman, DIY, dengan nomor telepon 0274-8571199.
Warga Dusun Kadisoka, Siti Nurjannah (59), mengatakan, rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggalnya itu kosong sejak akhir tahun 2015. Sebelumnya, rumah milik Subardi tersebut dikontrakkan pada seseorang, lalu difungsikan sebagai home schooling.
"Di sana sering ada pertemuan. Sebenarnya kami sempat curiga, tetapi kegiatannya tidak pernah mengganggu masyarakat, jadi dibiarkan saja," ujar Nurjannah. Sehari sebelumnya polisi sempat menyelidiki rumah itu, yang merupakan sekolah Kevin Aprilio, anak yang dilaporkan hilang.
Menurut Nurjannah, dirinya juga tak asing dengan wajah dokter Rica. Namun, pegawai rumah sakit di kawasan Lempunyangan itu tidak yakin apakah ia bertemu dengan dokter Rica di rumah perkumpulan Gafatar di Kadisoka atau tempat kerjanya.
Meski begitu, Nurjannah mengungkapkan bahwa anaknya sempat bertemu dokter Rica di rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggalnya itu. "Anak saya sih bilang pernah ketemu dokter Rica di sini. Tapi, dulu tidak pakai kerudung," katanya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti ikut buka suara terkait maraknya orang hilang karena bergabung dengan Gafatar. "Saya berharap masyarakat lebih selektif memilih atau bergabung dengan organisasi yang berlaku eksklusif," ujarnya.
Menurutnya, gerakan menyimpang kerap menggunakan kedok kegiatan sosial untuk meyakinkan calon anggotanya. Setelah tertarik untuk bergabung, calon korban biasanya diberi buku atau majalah untuk bacaan.
Selanjutnya, mereka dikumpulkan di suatu tempat dan didoktrin atau dicuci otak dengan paham mereka. Setelah itu, korban pergi meninggalkan rumah dan menghilang. Haryadi juga mengingatkan agar orang tua mengawasi anaknya secara intensif.
Orang tua dituntut tahu kegiatan anaknya di luar rumah, termasuk organisasi yang diikutinya. Sikap hati-hati dan waspada harus dimiliki setiap warga sehingga tidak mudah terjebak dan terjerumus dalam gerakan menyimpang.
Jika sudah terjebak, korban akan merasa paham yang dianutnya adalah yang paling benar. "Ini sangat penting bagi orang tua yang memiliki anak dalam masa peralihan dari remaja ke dewasa. Cermati lingkungan pergaulannya," kata Haryadi.
Saat ini Pemkot Yogyakarta mendata dan mencermati organisasi masyarakat (ormas). Jika ada ormas yang menyimpang dengan bukti kuat, Pemkot Yogyakarta akan mengeluarkan larangan keberadaan ormas tersebut ataupun aktivitasnya. n ed: ferry kisihandi