Senin 28 Mar 2016 14:43 WIB

Akbar Hadi Prabowo, Kabag Humas Ditjen Pemasyarakatan: Persoalan Utamanya Kelebihan Kapasitas

Red:

Apa sebenernya persoalan yang memicu kerusuhan di lapas terus terjadi?

Jadi, sebetulnya akar permasalahan di pemasyarakatan itu over kapasitas. Jadi, semakin banyak warga binaan yang menghuni lapas rutan kita, semakin hari semakin bulan tidak berkurang. Memang yang bebas ada. Tapi, lebih banyak yang masuk.

Contoh konkret, tiga bulan lalu, 178 ribu jumlah penghuni, nah sudah 183 ribu lebih hari ini. Sementara, jumlah petugasnya tidak bertambah, bahkan berkurang, ada yang pensiun, ada yang kena sanksi pecat, pindah tugas. Jadi, ya itu, sementara pemerintah kita menerapkan moratorium PNS juga.

Seberapa besar peran kelebihan kapasitas menimbulkan berbagai persoalan semacam itu?

Ya jelas berdampak. Karena lapas semakin over kapasitas, dampaknya luar biasa. Pelayanannya berkurang, pengawasannya pun karena petugasnya tidak bisa mengawasi maksimal.

Jangan lupa, over kapasitas juga membuat fasilitas sangat memprihatinkan. Contoh misalnya, toilet yang harusnya satu untuk lima orang, ini untuk 50 orang, bisa dibayangkan seperti apa. Sehingga, ini mengganggu seluruh sendi-sendi kehidupan yang ada di dalam lapas.

Ini juga yang kemudian rentan terjadi gesekan, baik secara psikologis maupun sosial pada warga binaan. Ini juga yang menjadi pemicu dan pemancing keributan maupun persoalan-persoalan di dalam lapas.

Jadi, apa yang mestinya dilakukan?

Kita berharap ada penambahan jumlah petugas sebanyak 17 ribu petugas supaya memadai. Sehingga, perbandingan rasio 1:25. Tapi, itu sebenarnya juga belum ideal, tapi paling tidak diharapkan mencukupi dibandingkan yang saat ini.

Akar persoalan pemasyarakatan juga ada di regulasi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi bagi terpidana kasus pidana luar biasa. Sehingga, mereka yang harusnya dapat remisi, dibatasi, jadi jumlah penghuni yang masuk lebih besar dibanding yang keluar.

Kemudian, kita kan penghuni lebih banyak dari narkoba. Nah, narkoba itu juga kan juga banyak pecandu, tidak hanya penyalah guna. Mereka ini yang seharusnya direhabilitasi, kalau secara medis, ya di Kemenkes, kalau sosial di Kemensos. Kalau keduanya, ya di BNN. Karena, lapas bukan tempat ideal untuk rehabilitasi narkoba.

Anda katakan kelebihan kapasitas, tapi saat dilakukan penggeledahan ada fasilitas sejenis karaoke?

Sebetulnya kami sudah mencoba melakukan pengawasan secara online, ada namanya sistem database kemasyarakatan. Dengan itu, kami itu di pusat maupun di wilayah bisa memantau kamar mana yang terisi, mana yang tidak, nanti akan terlihat, mana yang ada ketimpangan.

Nah, mungkin saja kalau emang ada fasilitas yang seperti itu mungkin aja ada, tidak bisa kita mungkiri. Nah, kamar itu mungkin kamar yang dipakai untuk ruang pembinaan keterampilan atau gudang yang dimanfaatkan. Sehingga, di sana seolah-olah nggak diisi kamar. Mungkin itu dimanfaatkan, ada kemungkinan seperti itu.

Dengan keterbatasan seperti yang Anda ungkapkan, bagaimana indikasi pelanggaran petugas lapas?

Kalau nanti ditemukan ada pelanggaran seperti itu. Pimpinan kami tegas tidak akan ada kompromi. Tahun 2015 lalu itu, kami itu beri sanksi 200-an lebih petugas, kami mulai sanksi berat, sidang, atau ringan. Dan kalau sampai narkoba, itu pasti berat sanksinya. Oleh Fauziah Mursid ed: Fitriyan Zamzami

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement