Senin 02 May 2016 14:00 WIB

Visi Saudi 2030, Haji-Umrah, dan Green Card

Red:

Selama ini, Arab Saudi mungkin melihat haji dan umrah hanya sebelah mata. Secara ekonomi, tentu saja. Bukan yang lain. Maklumlah, selama puluhan tahun, negara Raja Salman bin Abdul Aziz ini telah dimanja dengan minyak. Hampir 80 persen pendapatan negara itu berasal dari ekspor emas hitam--nama lain dari minyak-- ini.

Itu sebabnya, negara yang didirikan dengan nama keluarga pendirinya--Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Saud--ini sering dijuluki sebagai Negara Petro Dolar. Maksudnya, dari ladang-ladang minyak Saudi ini kemudian menghasilkan miliaran dolar.

Dalam bahasa wakil putra mahkota (waly waly al-'ahdi), Mohammad bin Salman bin Abdul Aziz, Saudi selama ini sudah kadung kecanduan minyak. ''Sepertinya, konstitusi Saudi itu Alquran, hadis, dan kemudian minyak,'' ujar orang ketiga dalam hierarki penguasa di Saudi itu dalam wawancara dengan stasiun televisi Al-'Arabiyah, pekan lalu.

Padahal, lanjut Pangeran Mohammad, kakeknya, Raja Abdul Aziz, dan orang-orang terdekatnya mendirikan Kerajaan Saudi tanpa minyak. Juga ketika mereka menjalankan pemerintahan. Namun, dengan keberhasilan penggalian emas hitam di bumi Saudi secara besar-besaran, negara ini kemudian menjadi kecanduan terhadap minyak. Dan, hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya, kata pangeran muda ini, hampir tidak ada upaya untuk menggali sumber pendapatan lain selain minyak.

Kini, ketika tren harga minyak dunia terus menurun, Saudi pun 'kalang kabut'. Dari harga 125 dolar (Rp 1,7 juta) per barel pada Maret 2012, turun menjadi di bawah 50 dolar saat ini. Angka ini diperkirakan masih bisa turun hingga 30 dolar per barel. Tahun lalu saja, pemasukan Saudi dari sektor minyak turun hingga 23 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Akibatnya, Arab Saudi pun mengalami defisit anggaran hingga mencapai 98 miliar dolar AS atau Rp 1.337 triliun. Selain minyak, defisit ini juga disebabkan oleh faktor lain. Di antaranya, kebijakan geopolitik Saudi yang agresif di Timur Tengah.

Sebagai pemimpin koalisi militer negara-negara Arab, Saudi telah mengerahkan militernya untuk menyerang basis-basis militer al-Khauti di Yaman. Kebijakan ini tentu saja telah menguras dana kas negara yang tidak sedikit. Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk menyerang basis-basis ISIS dan membantu kelompok-kelompok oposisi di Suriah.

Dampak dari defisit anggaran ini pun kini mulai dirasakan masyarakat Saudi. Harga BBM semua jenis di dalam negeri rata-rata naik sebesar 50 persen. Pemangkasan subsidi di sektor publik ini juga dilakukan untuk layanan air, listrik, dan lainnya. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Saudi membutuhkan harga minyak pada tingkat sekitar 105 dolar per barel agar APBN mereka tetap sehat.

Untuk mengatasi penurunan pendapatan dari harga minyak ini, kabinet Arab Saudi pekan lalu telah meloloskan reformasi ekonomi secara menyeluruh. Tujuannya, mengalihkan negara itu dari ketergantungan pada minyak. Reformasi itu diberi nama Visi Saudi 2030.

Sang arsitek dari reformasi ini adalah Pangeran Mohammad bin Salman (31 tahun). Ia merupakan wakil putra mahkota yang juga putra Raja Salman. Menurutnya, reformasi ekonomi di negaranya bisa dibilang terlambat. "Mestinya, sudah dilakukan sejak dulu," katanya dalam wawancara dengan televisi Al-'Arabiyah, baik harga minyak turun maupun naik.

Inti dari reformasi ekonomi Saudi ini adalah apa pun yang bisa dijadikan uang (pendapatan negara) akan digarap serius. Sebaliknya, yang bisa menghambat kemajuan ekonomi akan dikikis habis.

Ada lebih dari 30 sektor yang menjadi prioritas. Dari penjualan lima persen saham Aramco--perusahaan Saudi bernilai 2,5 triliun dolar AS--ke bursa internasional, penanaman modal pertambangan mineral, pengembangan energi matahari, hingga pembangunan industri persenjataan dalam negeri.

Juga mengundang investor asing untuk membangun perusahaan di Saudi, menjual saham sejumlah rumah sakit kepada investor dalam negeri, mengembangkan produk-produk pertanian dan peternakan, serta menambah jumlah jamaah haji dan umrah. Berikutnya, pemberlakuan Green Card kepada pekerja asing, pemberdayaan perempuan, pelatihan SDM, hingga memerangi korupsi.

Intinya, Saudi akan menggenjot semua potensi ekonomi alias diversifikasi pendapatan. Sang arsitek reformasi ekonomi Saudi mengatakan, minyak nantinya hanya sebagai pelengkap dari keseluruhan pendapatan negaranya. Ia menargetkan, pada 2020, Saudi sudah bisa hidup tanpa minyak.

Ada beberapa sektor yang barangkali terkait dengan orang-orang Indonesia dari reformasi ekonomi Saudi ini. Antara lain, program pemberlakuan Green Card, penanaman modal asing, serta haji dan umrah.

Green Card yang dimaksud adalah seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Yaitu, pemberian permanent residence (izin tinggal tetap) kepada warga asing untuk bekerja di Saudi. Kebijakan ini dimaksudkan agar warga asing dapat tinggal lebih lama di Saudi dan membawa serta keluarganya. Sehingga, uang (gaji) tidak keluar dari Saudi. Green Card ini diutamakan bagi para profesional dari negara-negara Arab dan Islam. Indonesia salah satunya.

Sedangkan, penanaman modal asing bisa jadi merupakan kesempatan untuk para pengusaha Indonesia berbisnis di Saudi. Pangeran Mohammad menjamin investasi di Saudi akan sangat menguntungkan. Antara lain, karena posisi Saudi sebagai pusat dan 'kiblat' dari negara-negara Arab dan Islam.

Berikutnya adalah sektor haji dan umrah. Dalam hal ini, Saudi tentu sangat diuntungkan. Makkah dan Madinah berada di sana. Juga Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Bayangkan, Indonesia yang merupakan negara besar nan indah berikut ratusan atau bahkan ribuan objek-objek wisata baru berhasil menarik wisatawan asing sebanyak 10 jutaan setahun. Itu pun dengan usaha yang gila-gilaan, terutama dalam hal promosi yang juga menghabiskan dana yang tidak kecil.

Sebaliknya, tanpa promosi dan iklan, jutaan manusia dari berbagai bangsa berduyun-duyun pergi ke Saudi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Untuk haji bahkan mereka harus rela antre hingga 15 atau 20 tahun. Penyebabnya, keterbatasan lokasi dan waktu pelaksanaan haji. Sehingga, haji sejauh ini dibatasi hanya empat juta jamaah dari berbagai negara.

Karena itu, dalam Visi Saudi 2030, Raja Salman akan menggenjot jumlah jamaah umrah hingga mencapai angka 30 juta setiap tahun. Sedangkan, untuk haji hanya bisa menambah sekitar satu jutaan orang. Sekarang ini, jumlah jamaah umrah baru sekitar delapan juta setiap tahun. Untuk mendukung rencana ini, berbagai sarana dan prasarana sedang digarap. Dari pembangunan hotel, bandara baru di Taif, pelebaran jalan, sarana transportasi, hingga pusat-pusat perbelanjaan, dan lainnya.

Sekali lagi, bayangkan, berapa devisa yang bisa diraup dari haji dan umrah? Untuk haji, jamaah akan tinggal di Saudi selama sekitar sebulan lebih. Sedangkan, umrah sekitar sepekan. Mereka dipastikan membawa bekal lebih dari cukup untuk dibelanjakan selama berada di Saudi.

Kita berharap agar haji dan umrah ini tidak hanya diberlakukan secara komersial. Pelayanan juga harus ditingkatkan. Dari pengajuan visa, selama berada di Arab Saudi, hingga pulang ke negara masing-masing. Apalagi, haji dan umrah adalah ibadah. Pelayanan yang diberikan juga harus mencakup kesahan dan kekhusyukan ibadah. Termasuk, keamanan dan kenyamanan mereka.

Jangan sampai terulang kembali kecelakaan-kecelakaan yang menimpa jamaah haji. Seperti, kecelakaan crane di Masjidil Haram dan musibah di Mina pada tahun lalu yang menyebabkan ratusan jamaah haji wafat.

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement